ANEH-ANEH saja kejadian yang menimpa temanku ini. Sabtu pagi pukul 7. Sebutir matahari masih melayang rendah. Sinarnya menyapu hangat halaman balairung kampus Universitas Indonesia, Depok. Dua jam lagi ada upacara wisuda. Ia terjungkal tanpa sebab jelas. Tidak ada setan lewat. Angin pun menari pelan. Sepatu kirinya melayang dan terkulai di aspal seperti sosis jatuh dari meja makan. Lucu. Mengharukan. Minimal dalam imajinasiku.
Betapa tidak mengomelnya dia. Ia sudah bangun pukul 3 pagi. Waktu di mana pepohonan masih basah oleh embun dan lampu jalanan masih menyala mengiringi senyap. Lalu mandi dengan sejenak menggigil. Beranjak untuk sebuah make up di sebuah salon tak jauh dari rumahnya. Kain jarik milik ibunya pun membekap pinggang sampai kakinya. Membuatnya tidak bergerak lincah. Selincah saat ia berjalan ke foodcourt Mal Artha Gading untuk sepotong makan siang. Padahal ia membenci berjalan lambat. Tapi, apa boleh buat. Ia seperti kura-kura lapar. Usai rapi, ia pun bergegas ke Depok mendahului macet. Pukul 7 sampailah ia. Harapan besar menyandang gelar Master of Science itu pun harus ditempuh dengan menjalani insiden kecil. Ia terjungkal tanpa sebab. Sepatu kirinya melayang dan terkulai di aspal seperti sosis jatuh dari meja makan.
“Sebel!” katanya.
Aku terpingkal-pingkal dalam hati. Lucu. Memang, ada sisi-sisi menarik dari temanku ini. Belum lama aku mengenalnya. Kita sering bertukar sapa dan obrolan pada sebuah makan siang. Sebelumnya selama 3 bulanan, kita tidak pernah bertegur sapa. Padahal kita ada di satu kantor, satu pabrik kata-kata. Aku di lantai 4 dan ia di lantai 3. Tapi perjumpaan di sela makan siang itu telah mengawali persahabatan kami. Setelah itu, kita pun rajin saling melempar sapa. Untuk sebuah obrolan, sepaket ejekan pada ruang chatting, atau sepotong janji makan siang.
Dia adalah Sekar Ayu. Sekar artinya bunga. Ayu artinya cantik. Sekilas namanya seperti tokoh dalam dongeng atau cerita rakyat Jawa. Hari-hari ini, ia disibukkan dengan persiapan melepas masa lajangnya pertengahan November nanti. Senang. Pusing. Deg-degan. Capek. Semua tumplek jadi satu seperti semangkok es campur saja. Satu bulan lalu, ia pusing memilih warna yang cocok buat kain pengantin. Ijo botol, merah maroon, atau warna emas. Berlanjut kepalanya dijejali dengan urusan cetak undangan, kata-kata mutiara, suvenir, tukang rias, dan sebagainya. Masih ditambah dengan kekonyolan-kekonyolan kecil di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebuah lembaga formil-formilan belaka.
Ia akan menikah dengan seorang laki-laki yang lebih dari lima tahun menemaninya sebagai kekasih. Namanya Seto. Seto, sebuah nama yang mengingatkanku pada tokoh cerpen A.S. Laksana dalam antologinya Bidadari Yang Mengembara (2004). Seto, seorang pemuda yang gandrung dengan anak penjual martabak dan ingin menjadi kupu-kupu. Saat memandangi paras gadis itu, Seto melihat pendaran cahaya bak matahari. Saat itu juga ia merasakan dadanya dipenuhi laron-laron yang mengitari bola raksasa itu. Ia yakin ia segera jatuh cinta sebab laron-laron selalu terpesona pada cahaya. Aku kenal betul Seto pilihan Mas Sulak, panggilan A.S. Laksana dalam satu cerpennya. Tapi, aku tidak kenal Seto pilihan Sekar Ayu. Aku pernah melihat parasnya tersembunyi di balik helm dan tubuhnya dibalut jaket tebal. Kacamatanya mengintip dari kaca helm yang memantulkan cahaya senja yang sudah mulai pudar. Seto sama dengan Seto. Dua-duanya lagi dimabuk anggur cinta.
Kemarin sore, Sekar Ayu pun mematung dalam permenungan. Ia membayangkan dirinya dua bulan lagi. Ia harus memaknai kebebasannya lagi. Membaca ulang. Sudah biasa kamarnya berantakan. Kaus kaki tanpa dicuci tiga bulan. Mandi sehari sekali. Jajan indomie. Pulang malam. Menyeruput capuccino kapan pun, di mana pun, dengan siapa pun. Ngobrol dengan sahabat atau para selingkuhan yang membuat tagihan ponselnya membengkak. “Dia akan menjadi perempuan bersuami dengan keterikatan dan kebebasan yang berbeda,” katanya dalam blognya.
Tidak ada yang mampu menghentikan waktu. Perubahan niscaya terjadi. Sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan. Perempuan doyan main basket ini tidak bisa menyembunyikan kekuatirannya. Kekuatiran yang lumrah. Tapi, percaya saja, di mana ada cinta, di situ pasti ada jalan. Itu yang selama ini aku amini. Cintalah yang akan membuka jalan-jalan tersumbat. Yang kupikirkan cuma satu. Setelah dua bulan ke depan, akankah dia masih sudi bertegur sapa denganku untuk sebuah obrolan, sepaket ejekan pada ruang chatting atau sepotong janji makan siang? Tunggu saja. The show must go on!
Ssst, aku merasa dejavu!
Tuesday, August 28, 2007
Perempuan Ini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment