Tuesday, September 18, 2007

Jadi Modin 100 Hari Kematian

MENGENANG 100 hari kematian Om Har, aku didaulat menjadi modin. Modin dalam tradisi Jawa dikenal sebagai pemimpin doa. Sanak kerabat sering memintaku untuk sejenak menjalani profesi dadakan ini. Entah syukuran 7 bulanan seorang bayi, 1 minggu atau 40 hari atau 100 hari kematian. Bahkan, seorang karib pernah memintaku untuk membuatkan doa untuk ulang tahun perkawinan orangtuanya. Gedubrak! Entah kenapa orang-orang itu menginginkan diriku menjadi modin.

Mungkin gara-gara aku pernah mengenyam pendidikan di pesantren kuning, sebutanku untuk pesantren Katolik. Toh, tidak semua lulusan (tepatnya pelarian-red) dari pesantren kuning itu hidup soleh dan bertabiat seperti nabi atau santo-santa. Lihat saja. Doa jarang aku daraskan. Sering absen ke gereja hari minggu. Hidupku juga awut-awutan. Novel dan buku-buku lain telah menggeser jauh-jauh Kitab Suci. Di rak perpustakaan pribadi, buku setebal kamus ini terletak di bawah tumpukan buku yang jarang dibaca. Tuhan pun tidak lagi menjadi kata dan sosok dingin yang untouchable bak gembong mafia Italia. Aku bebas sebebas-bebasnya menyapa diri-Nya. Entah menyebut ‘Tuhan di saku celana’ atau ‘Tuhan di laci meja’ atau ‘Tuhan kedodoran celana’ dan sebagainya.

Tapi, ini rahasia besar yang kusimpan dalam diriku: dengan cara inilah, aku mengenal, aku membaca, aku merasakan, aku mengunyah Tuhanku. It’s very personal! Dengan jalan inilah, aku melihat Tuhanku bukan sebagai pribadi yang jauh, yang terbang di awan-awan sehingga aku harus senantiasa mendongakkan kepalaku, yang duduk di kursi beludru di mana aku harus senantiasa membungkuk, mengangguk-anggukkan kepala tanda hormat. Dengan jalan ini, Tuhan sungguh terkesan sangat dekat. I-n-t-i-m. Jangan-jangan Tuhan itu tergolong homo ludens, sosok yang senang bermain. Tuhanlah yang mengajariku berbagai kegilaan ini. Tuhanku gila. Aku pun gila. Auk ah gelap!

Ketika didaulat jadi modin doa 100 hari kematian itu, benakku berputar-putar di langit-langit kamar tempat aku merebahkan diri secara manja. Sinar bolham lampu 15 watt di emperan luar kamar, membawa tempias bayangan daun-daun suplir yang digantung. Memikir-mikir bentuk doa apa yang akan aku berikan. Emoh jika hanya ikut dan baca doa standar yang ada dalam buku. Pasti monoton. Tuhan mungkin bosan.

“Eureka!” Ide itu sontak jatuh. “Telepok!” begitulah bunyinya. Tiba-tiba aku seperti Archimedes yang menceburkan di ember gede penuh air. Air seakan tumpah dan menggenangi seluruh isi kamar. Aku langsung meloncat dari kasur dan meraih 2 keping cd berisi musikalisasi sajaknya Sapardi Djoko Damono. Ada dua album: Becoming Dew dan Gadis Kecil. Sampai akhirnya di malam di ruang tamu rumah kakak perempuanku. Lilin dinyalakan mengapit patung kecil Isa dan Bundanya. Foto hitam putih Om Har saat masih kanak-kanak menyender di patung salib. Lalu alunan suara gitar Ari Malibu dan getar pita suara Reda menguar dalam hening.

Ketika kau tak ada
Masih tajam seru jam dinding itu
Jendela tetap seperti matamu
Napas langit pun dalam dan biru
Hanya aku yang menjelma kata
Mendidih menafsirkanmu

Kau mungkin jalanan
Menikung-nikung itu
Yang menjulur dari mimpi
Yang kini masih kutempuh
Sebelum sampai di muaramu
Sungguh tiadakah tempat berteduh di sini

Kalau tak ada di antara jajaran cemara itu
Kepada siapa mesti kucari jejak napasmu
Maghrib begitu deras, ada yang terhempas
Tapi ada goresan yang tak akan terlupakan


Yah, itu yang bisa kulakukan sebagai modin. Tepatnya modin-modinan. Setiap kali sajak Sapardi itu diputar, yang kuingat adalah sosok Om Har (bisa diklik Ecce Homo). Seakan kematiannya hanyalah mimpi saja. Cemara itu memang sudah tidak ada lagi di jajaran keluarga kami. Tapi goresan akarnya masih jelas dan belum dikaburkan angin. Seringai wajahnya saat menahan perut yang sakit. Gigi ginsulnya saat tertawa. Dua bola mata manisnya di balik kacamata minusnya. Belut goreng campur lombok kesukaannya.

Ada sepotong pengalaman yang tidak bakalan usang di ingatanku. Tiga bulan silam, saat mbah kakungku meninggal, Om Har dengan wajah letihnya memintaku memimpin doa untuk arwah kakekku itu. Kami sekeluarga besar berdiri mengelilingi peti berisi sosok beku itu. Aku diminta Om Har menjadi modin. Tiga bulan kemudian, aku pun diminta menjadi modin lagi. Bukan untuk kakekku. Tapi, untuk Om Har sendiri. Lalu, ketika aku menulis catatan ini, aku bertanya: siapa yang akan menjadi modin untuk kematianku nanti?

No comments: