Monday, September 10, 2007

My Own Edensor

“Sure lof, it’s Edensor...”

KAMIS pukul 18:54 WIB. Petualangan Ikal aku baca sampai di sini. Selesai. Di lantai 19 Sky Line Building setelah setengah jam lalu bola matahari melorot dan sembunyi di pasar Tanah Abang. Tepatnya, dua jam setelah ibuku menelepon dari wartel Stasiun Senen untuk minta dijemput. Sayang sekali aku tidak bisa menjemput karena sudah ada janji wawancara dengan narasumber. Di langit, tersisia warna jejak jingga keperakan. Lalu hilang tergusur pekat saat lampu-lampu kota mulai berkedip-kedip seperti kerjapan kunang-kunang yang sedang menggerayangi malam.

Berakhir juga petualanganku selama sehari itu. Seharian untuk menuai kelelahan di penghujung senja. Pagi hari, aku berada di Grand Hyatt untuk mendengarkan celoteh Daren Sng, Senior Product Marketing Manager Apple untuk Asia Pacific memperkenalkan seri terbaru iMac. Berlanjut dengan menyisir jalan Thamrin-Sudirman dengan bus Trans-Jakarta menuju kedai makan Mbah Jingkrak. Mengikuti launching Sari Wangi Mobil Mudik 2007. Sejumlah 150 unit Kijang Inova disediakan gratis bagi pelanggan yang beruntung. Lengkap dengan sopir, gratis uang bensin, uang tol, dan uang makan. Weleh, uenak tenan! Tapi aku tidak berencana mudik. Pasti merepotkan. Lebih-lebih aku harus menjaga peri kecilku. Menyuapinya dengan bubur kacang ijo. Menyeduhkan susu cokelat untuknya tiap pagi dan malam. Lebih-lebih sayap peri kecil belum cukup kuat untuk terbang ke kampung halaman. Sore menjelang, aku kembali berada di bus Trans-Jakarta menuju Thamrin. Lalu membebaskan James, motorku, dengan menukar karcis parkir di Hotel Nikko dengan recehan Rp 7.000. Senja tiba dan sampailah aku di ruang Jasmine, Sky Line Building Lantai 19.

Jeda waktu menunggu narasumber kumanfaatkan untuk meluruskan kaki, meluruhkan lelah ke ubin, dan membaca kelanjutan petualangan Ikal, karakter utama dalam novel Edensor, novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Akumulasi kelelahan hari itu aku tumpahkan dengan menyambar tiga gelas penuh coca-cola, satu cangkir kopi hitam berkrim, berlanjut dengan sepiring nasi goreng Hainam bertaburan kacang polong nir kecap, spageti, Korean bbq, salad, dan sup asparagus. Menu yang layak untuk menebus pekerjaan seharian.

Mengikuti lembar per lembar halaman Edensor, aku seperti ikut hanyut dalam narasi. Ikut mengelana. Dari pedalaman Melayu di Belitong sampai pedalaman Eropa dan Asia. Petualangan ala backpackers yang penuh sensasi. Rasanya ikut merasakan serpihan salju menempeli kulit, merosotnya suhu dingin sampai titik nadir, dan badai salju di Rusia. Menikmati Paris yang sedang bersolek. Inggris yang beku dan tersaput warna jingga yang berpendar dari lampu-lampu kota. Antiknya rumah William Shakespeare saat menulis romansa Romeo dan Juliet. Anggunnya perempuan-perempuan Yunani. Memanjakan lidah dengan masakan beragam cita rasa.

Aku doyan cerita-cerita petualangan. Pergi dari kepompong rumah. Hengkang dari istana mapan. Mengambil risiko ke tanah asing. Mengalami ketidakpastian. Bercanda dengan seribusatu ancaman dan bahaya. Mewujudkan mimpi-mimpi. Mendekonstruksi takdir. Melompati batasan-batasan. Mematahkan kemustahilan. Lalu menulis cerita.

Andrea Hirata membuatku terkesiap sekaligus iri. Larik-larik cerita yang ia tuliskan memesonaku sekaligus membuncahkan mimpi-mimpiku yang masih dikerangkeng oleh rasa ragu. Jiwa merdeka, pengelanaan, bertemu dengan banyak orang, menjumpai aneka budaya, menaklukkan alam.

Cerita-cerita senada aku temukan juga dalam novel Sang Alkemis (Paulo Coelho) atau Life of Pi (Yan Martel). Keterbatasan yang dipadu dengan risiko-risiko membuat orang semakin perkasa untuk mematahkan segala ketidakmungkinan. Aku juga mempunyai mimpi. Mengelana juga. Tidak meleset juga jika aku menamai diriku sendiri dengan musafir muda. Ada orang Belitong mampu menaklukan dunia. Apakah aku, orang udik ini juga bisa menaklukkannya? Dusun Belitong mungkin sama dengan dusun Sembungan. Sembungan, nama yang tidak ada di peta dan jarang di dengar orang. Adakah seorang pengelana baru akan lahir dari dusun katrok di pedalaman Jogjakarta ini? Lao Tzu pernah berpesan, “A thousand mile journey begins with the first step.”

Jumat pekan lalu, aku chatting dengan seorang karib yang bekerja di sebuah agen tur jurusan tempat-tempat suci di Timur Tengah dan Eropa. Bolak-balik mengantar para pejiarah menjadi menu utamanya. Jelas ini mengasyikkan.

“Asik ya Mas menjadi guide para pejiarah!”
“Ya, ini pekerjaanku.”
“Dari sekian kali menemani para pejiarah, apa yang Mas dapatkan?”
“Aku semakin mengenali apa arti jiarah yang sebenarnya.”
“Apa itu Mas?”
“Persis seperti yang dialami Ignatius dari Loyola. Jiarah itu membiarkan hidup ini mengalami ketidakpastian dan menyerahkan diri untuk dibimbing Allah sendiri.”

Aku jeda sejenak. Cerita-cerita pengelanaan Ignatius Loyola sudah katam aku baca sejak ada di asrama. Menarik. Menginspirasi. Memang segala hal yang berasal dari pengalaman lebih menginspirasi ketimbang teori-teori.

Dan malam itu di ruang Jasmine, Sky Line Building lantai 19, aku menumpahkan kerinduan terpendamku. Jiwaku yang bersembunyi di dalam raga, di sela-sela tulang, dan di sari-sari sumsum seakan menggeliat. Meledak dalam sikap diam. Sementara mataku masih memanjakan diri dengan kerlap-kerlip kendaraan yang merangkak di sepanjang jalan Thamrin menuju peraduan mereka masing-masing. Dan di batok kepalaku, berputar-putar gambaran Edensorku sendiri. Sebuah tanah berumput hijau tempat aku merebahkan diri sambil memandangi bulan raksasa terbang rendah dari pucuk-pucuk cemara. That is my Edensor!

4 comments:

krismariana widyaningsih said...

Endensor apik po mas? aku kagol moco Laskar Pelangi. njuk wegah tuku bukune Andrea hirata liyane.

Hijau Tosca said...

Go and find your edensor. Alam akan membantu kalau kita terus bermimpi

Anonymous said...

Has casually found today this forum and it was specially registered to participate in discussion.

Anonymous said...

Your phrase is matchless... :)