Monday, October 22, 2007

Nobel Sastra dan Kesunyian Seorang Penulis

NAMA yang aku tunggu akhirnya muncul. Oktober sudah hampir lewat. Padahal di setiap Oktober, nama pemenang Nobel biasanya diumumkan. Daftar nominasi kandidat sendiri muncul setiap 1 Februari. Minggu pagi, seperti ritual biasanya, aku membuka Koran Tempo Minggu. Seperti biasa juga, aku langsung membuka halaman rubrik sastra dan buku. Nah, di halaman 19, aku menemukan nama Doris Lessing, peraih nobel sastra 2007 itu.

Potret Doris terpampang di samping judul “Kado Manis untuk Doris” (Koran Tempo, 21 Oktober 2007). Parasnya sudah uzur. Keriput menghiasi setiap sudut mata dan lekuk pipinya. Garis-garis lipatan kulit tegas nampak di dahinya. Rambutnya sudah semuanya memutih. Tapi, sorot bola mata yang tenggelam di antara lipatan kelopak matanya, tampak begitu tajam. Tanda betapa perempuan ini sudah banyak makan asam garam. Itulah Doris Lessing.

Doris lahir pada 22 Oktober 1919 di Kermanshah, Iran. Nama lengkapnya Doris May Taylor. Putri dari Alfred Cook Taylor, mantan kapten Inggris pada masa Perang Dunia I, dan Emily Maude Taylor, seorang perawat ini menjadi orang ke-106 yang mendapat anugerah ini.

Nama Lessing ia peroleh dari pernikahan kedua dengan Gottfried Lessing, seorang imigran Jerman-Yahudi yang ia kenal dalam Klub Buku Kiri. Doris beberapa kali terlibat dalam gerakan Kiri, entah di Partai Buruh Rhodesia Selatan maupun British Communist Party.

Jalan kepenulisannya ia mulai dengan novel The Grass is Singing (1950). Novel ini berkisah tentang relasi istri petani kulit putih dengan budak kulit hitamnya. Konflik rasial menjadi konteks dari seluruh plot cerita. Berlanjut dengan antologi cerita dalam This was The Old Chief’s Country (1951), cerita pendek Five (1953), The Children of Violence Series (1952-1959). Novel fenomenal Doris adalah The Golden Notebook (1962). Novel ini berkisah tentang Anna Wulf, karakter cerita yang memunyai buku catatan untuk menumpahkan ide-idenya tentang Afrika, politik, komunisme, relasi dengan pria, dan seks. Ia menggunakan pisau analisis psikolog Carl Gustav Jung untuk mengeksplorasi mimpi, seni, mitologi, agama, dan filsafat. Tema-tema perempuan bisa ditemukan dalam karyanya African Laughter: Four Visits to Zimbabwe (1992), Under My Skin (1994), The Summer Before the Dark (1973), The Fifth Child (1988), dan Walking in the Shade (1997). Novel terbarunya adalah The Cleft (2007).

Aku mereka-reka apa yang akan Doris katakan pada hari penganugerahan 10 Desember nanti. Ia akan mendapatkan piagam dan medali bergambar Alfred Nobel berlapis emas 24 karat. Raja Swedia Carl XVI Gustaf akan memberi kado ulang tahun berupa uang 10 juta kron atau Rp 14 miliar.

“Pembaca bebas melakukan apa pun, bebas menilai, dan penulis hanya bisa mengikuti,” kata Doris dalam sepotong wawancara dengan Adam Smith, panitia penghargaan itu. Bagiku, itulah wujud kerendahan hati Doris. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri dari karya-karyanya, Doris seorang yang menyuarakan keprihatinannya atas dunia sosial tempat ia hidup. Seperti hanya banyak penulis lain, Doris pun mengalami masa-masa kesendirian, asketik (mati raga), konflik, ditinggalkan, sepi. Aku senang menyebutnya sebagai soliter bagi penulis. Sepertinya, jalan-jalan kesunyian adalan jalan keharusan bagi para penulis.

Lihat saja para penulis lain. Gabriel Garcia Marquez, peraih Nobel Sastra 1982, tanpa letih berjuang dalam sayap Kiri dan mengkritik habis kediktaktoran Kolumbia, Laureano Gomez dan penggantinya, Jendral Gustavo Rojas Pinilla. Ia harus bersembunyi di Meksiko dan Spanyol. Dari tangannya lahirlah novel tentang refleksi mendalam atas sejarah Amerika Latin. Novel berjudul One Hundred Years of Solitude (1970) telah mengantarnya menjadi maestro realisme magis dunia. Novel ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang dengan judul 100 Tahun Kesunyian. “Kita hanya sedikit sekali berimajinasi, sebab kita kekurangan alat-alat konvensional untuk lebih memercayai hidup. Inilah kawan, inti terdalam dari kesunyian kita,” katanya.

Di Asia, muncul nama Gao Xingjian. Peraih Nobel Sastra 2000 ini, pernah bermain ‘petak umpet’ dengan pemerintah China. Lelaki kelahiran Ganzhou ini baru bisa menerbitkan tulisannya lima tahun setelah Revolusi Kebudayaan berakhir tahun 1976. Kritikan pedas pada kebijakan represif pemerintah membuatnya pergi sementara ke Prancis pada tahun 1990. Ia juga mengkritik habis pembantaian berdarah di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Naskah dramanya Tauwong (1992) membuat pemerintah China melarang semua tulisannya. Novel Ling Shan (Soul Mountain) menjadi karya terbesar Gao. “Saya mulai menulis novel saya, Soul Mountain, untuk mengusir kesepian jiwa saya di sepanjang waktu ketika karya-karya yang telah saya tulis dengan sensor diri yang ketat pun dilarang,” katanya pada saat pidato.

Ada lagi Nadine Gordimer dari Afrika Selatan. Perempuan peraih Nobel Sastra 1991 dipuji karena cara berceritanya yang sangat alami dan gaya menulisnya yang memukau. Tulisan-tulisannya diwarnai dengan keprihatinan atas rasialisme yang menghinggapi sistem sosial politik Afrika Selatan. Puncak pemikirannya tercermin pada Writing and Being (1995). Nadine menegaskan penulis mengada lewat karyanya dan bagaimana proses mengada itu dijelaskan oleh manusia melalui ragam cara, seperti agama, filsafat, ilmu pengetahuan, dan mitos.

Kenzaburo Oe dari Jepang dikenal sebagai kritikus bangsanya sendiri melalui novel-novelnya. Ia merupakan sastrawan pasca-Perang Dunia II. Karyanya bercerita seputar lingkungan hidup, antinuklir, dan antiperang. Novel termasyurnya berjudul Man’en gannen no futtoboru (The Silent Cry, 1967). Novel ini merupakan refleksinya mendalam atas peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. Ia dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1994.

Lain lagi dengan Naguib Mahfouz dari Mesir. Ia dikejar-kejar lantaran karyanya terlalu banyak mengkritik otoritas agama. Bahkan, ia nyaris mati oleh tikaman dari penyerang gelap. Ia memenangi Nobel Sastra tahun 1988. Tidak ketinggalan juga Imre Kertesz dan Gunter Grass. Kertesz, novelis Hungaria, adalah seoarang Yahudi yang berhasil lepas dari kamp Auschwitz. Ia menyikapi holokaus itu dengan arif dan jauh dari kesumat. Tulisannya mengalir. Oleh karenanya, seperti dikatakan saat pidato, ia menulis untuk dirinya sendiri. Bukan untuk pembaca atau untuk memengaruhi orang lain. Grass, penulis Jerman, dikenal lantaran perannya menghidupkan sastra Jerman paskaperang. Ia seorang pecinta damai dan pengkritik kebijakan menjelang Jerman bersatu. Kertesz mendapat Nobel Sastra pada tahun 2002 dan Grass pada tahun 1999.

Sekali lagi, kesepian, asketisme, pengekangan diri, penindasan, hampir senantiasa mengiringi kehidupan para penulis itu. Boleh dibilang, situasi sosial semacam itu, ikut merangsang syaraf-syaraf kreatif mereka untuk bersastra. Di Tanah Air, kita tidak boleh melupakan sosok Pramoedya Ananta Toer. Sebagian karya-karyanya lahir di pembuangan di Pulau Buru. Siksa dan derita pun tidak luput mengunjungi sang penulis. Lebih-lebih kesepian, di mana banyak orang memalingkan muka darinya.

Tapi, penulis dan kesepian (soliter) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Marguerite Duras menegaskan keberanian untuk kesepian dan terasing mutlak diperlukan oleh penulis. GP Sindhunata dalam sepotong tulisannya di internet, mengatakan kesepian bukan berarti isolasi. Itu menjadi semacam keberadaan diri yang sadar, yang justru terus bergulat untuk menemukan kontak. Tapi, juga menolak kontak.

Soal kesepian ini, aku ingat potongan catatan harian Soe Hok Gie. Berikut lima kalimat ungkapan kegelisahan yang pernah aku posting juga di blogku. "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan. Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian," katanya.

Sindhunata menegaskan, dalam kesepian itu orang bisa menjadi liar. Menulis memang membuat orang menjadi liar. “Seorang penulis tiba-tiba mendapati dirinya liar seperti di hutan, dan selalu liar sepanjang hidupnya. Untuk menulis, orang harus menggigit bibir, bergulat dengan keliarannya. Untuk itu ia harus menjadi lebih kuat dari tubuhnya. Ia juga harus lebih kuat daripada apa yang hendak ditulisnya. Kalau tidak, ia akan menyerah dan kalah. Maka menulis itu sebenarnya bukan hanya menulis, tapi mengalahkan kelemahan dirinya, menundukkan apa yang dihadapinya,” kata seorang Jesuit yang baru saja menerbitkan novel anyarnya Putri Cina (2007).

Menurutnya, orang yang tidak berani sepi, dia tak mungkin jadi penulis yang baik. Tapi, kesepian bukanlah saat untuk beromantisme. “Kesepian itu adalah suasana, yang menantang kita untuk berani bergulat dengan seluruh realitas, yang ternyata tidak mudah kita taklukan. Tak jarang orang menyerah dalam pergulatan itu, karena ia merasa tidak kuat dan tidak mampu. Menulis akhirnya adalah suatu askese, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian,” katanya.

Aku sendiri membutuhkan waktu lama untuk menimbang-nimbang dalam menjatuhkan pilihan di jalan penulisan ini. Menulis sebagai sebuah matiraga sudah aku rasakan. Meski hanya karya-karya kecil saja yang baru aku hasilkan. Menulis membutuhkan jiwa besar dan hati rela berkorban. Menulis membutuhkan kedisiplinan yang besar. Menulis dekat dengan rasa sakit. Sepi. Ditinggalkan. Kemampuan bertahan. Godaan untuk segera menutup laptop, mematikan komputer, membuang pena jauh-jauh, merobek kertas berisi coretan, dan sebagainya. Lebih-lebih logika pasar memasang standarnya sendiri. Tapi, bagiku, godaan paling besar adalah kemalasan untuk duduk dan menulis. Ini sebuah perjuangan besar!

Benar apa yang dikatakan Pater Greg Soetomo SJ, di sebuah wisma skolastik para Jesuit muda di Kampung Ambon pada sepotong senja. Ia mengatakan banyak orang pintar tapi tidak bisa menulis. Seorang yang bertekad menjadi penulis harus membuktikan hidupnya sebagai seorang penulis. Ia mengumpamakan seorang penulis harus berani menjadi the prodigal son, anak hilang. Aku suka dengan metafor anak hilang ini. Ia benar-benar memunyai komitmen dan disiplin tinggi pada apa yang dicintai. Mungkin ia akan hilang dari komunitasnya. Bahkan, komunitas (keluarga)-nya pun merasa kewalahan, sedikit uring-uringan, menilainya nyeleneh (menyimpang dari umum) sebelum akhirnya memahami sikap dan komitmen dari orang yang bertekad menjadi penulis ini. Ia benar-benar mengalokasikan waktu untuk banyak membaca, menulis, lebih senang menyendiri, merenung, dan sebagainya. Mungkin inilah bahasa lain dari jalan-jalan sunyi yang harus ditempuh oleh seorang penulis.

Aku sendiri mengamini itu semua. Lebih-lebih, sudah banyak penulis telah mengalaminya. Menulis itu seperti berjalan di padang pasir kesunyian. Mungkin Robert Frost lebih tepat menggambarkannya. Ia mengatakan di hutan, ia menjumpai dua jalan. Satu jalan besar, mulus, lurus, dan sering dilalui orang. Satu jalan lain kecil, berkelok, penuh belukar, dan jarang dilalui orang. Frost dengan besar hati akhirnya memilih jalan yang jarang dilewati orang itu.

Aku juga memilih jalan itu!

[refleksi atas berbagai sumber]

5 comments:

Anonymous said...

Siapakah yang tahan terus-terusan menulis meski tidak yakin apakah esok bisa makan atau tidak?

Siapakah yang tahan terus-terusan menulis meski tak ada lagi tinta dan kertas hanya tersisa darah, telunjuk jari, dan dinding bercat putih?

Sedikit yang tahan.

Mereka yang tetap menulis meski Tuhan pun mengancam akan mencabut nyawanya bila terus-terusan menulis adalah penulis yang benar-benar penulis. Bukan sekedar juru tulis.

Terus menulis Kawan

Anonymous said...

Saat membaca tulisan satu ini saya dalam keadaan sangat depresi dengan tulisan-tulisan saya. Namun ketekunan tokoh-tokoh yang disebutkan disini membuat saya merencanakan banyak hal agar bisa menjaga mood untuk menulis itu.

Salam mas Sigit...sudah lama saya tidak berkunjung kesini.

GBU

Anonymous said...

Jadi teringat pada satu kalimat, lupa dari siapa. "Lakukanlah apa yang engkau cintai, meskipun tidak banyak yang dapat kau peroleh karena apa yang kau lakukan adalah bayaran itu sendiri."

Salam
dewabuku.blogspot.com

andreas iswinarto said...

kawan, berdasarkan penelusuran yang saya lakukan terdapat 68 buku terjemahan Indonesia karya 20 orang pemenang hadiah nobel sastra. lebih lanjut silah kunjung http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/02/karya-karya-terjemahan-pemenang-nobel.html

semoga info ini berguna.

bukik said...

Potongan puisi Frost, aku memilih jalan yang jarang dilalui, menghiasi skripsiku
Dan juga sebagian besar jalan hidupku
Menikmati sepi tanpa harus terbunuh olehnya
Itulah seninya hidup