Sunday, November 18, 2007

Menonton Butet

MIMPI ibu peri jadi kenyataan. Keinginan kuat menonton monolog Butet Kartaredjasa berlakon Sarimin itu pun kesampaian malam ini. Jumat malam, 16 November 2007. Bayangkan, keinginan nya sampai terbawa mimpi. Mau tidak mau, dengan senang hati, aku menurutinya. Apalagi di dalam rahimnya, ada peri kecil berusia 6 bulan berjenis kelamin laki-laki. Siapa tahu, itu keinginan si kecil mendengar banyolan seniman asal Bantul itu.

Ini adalah kedua kalinya aku bersama ibu peri menonton Butet manggung di tahun 2007. Pertama kita nonton Butet berperan sebagai Ilak Alipredi dalam pementasan Kunjungan Cinta persembahan Teater Koma, Januari 2007. Ibu peri memang doyan nonton teater. Begitu pula aku.

Sampai di Graha Bhakti Budaya TIM pukul 18.00. Masih 2 jam menunggu pentas aktor kelahiran Jogja, 21 November 1961 itu. Di depan loket, kantong dirogoh, uang Rp 100.000 didapat, dan ditukarkan dengan 2 tiket bernomer W16 dan W17. Sayang kepalang sayang. Kita salah pilih kursi. Ternyata kita dapat kursi di balkon. Jeda waktu kami isi dengan nonton film gratis dalam Le Mois du Film Documentaire, festival film pemenang festival yang digelar di Studio 1 TIM 21. Film La traversee (2006) jadi tontonan pemanasan. Karya Elisabeth Leuvrey dan berdurasi 55 menit ini berisi dialog-dialog unik rombongan orang yang menyeberangi lautan antara Prancis dan Aljazair setiap musim panas. Khususnya, antara kota Marseille dan kota Alger.

Sisa jeda waktu kami isi dengan menyambangi gerai buku di pojok TIM. Hasilnya, 2 novel dari trilogi YB. Mangunwijaya terbeli ibu peri seharga Rp 60.000, yakni Roro Mendut dan Lusi Lindri. Buku ke-2 dari trilogi itu masih dicari, berjudul Genduk Duku.

Pukul 20.05, Butet pun manggung diiringi musik dari Djaduk Ferianto. Butet tampil pertama kali sebagai narator. Ia berkisah tentang seorang miskin bernama Sarimin. Mendengar nama ini, orang langsung berasosiasi dengan tukang monyet keliling. Dan benarlah, Sarimin dalam cerita Butet adalah lelaki miskin berumur 54 tahun yang bekerja sebagai tukang monyet keliling.

Tanpa lama, Butet menanggalkan peran narator dan merasuk ke tokoh Sarimin. Suatu siang, Sarimin menemukan sebuah KTP di jalan. Karena buta huruf, ia tidak tahu siapa pemilik kartu identitas itu. Dengan polos, ia pun menyambangi kantor polisi terdekat. Sayang sekali, di kantor polisi yang bertuliskan “Kami siap melayani Anda” itu, Sarimin merana. Ia dibiarkan menunggu oleh polisi yang sok sibuk dengan pekerjaan lain yang lebih besar: m-e-n-g-e-t-i-k. Tik-tak tik-tok, tik-tak tik-tok. Demikian suara mesin ketik manual itu menenggelamkan tugas polisi untuk melayani wong cilik seperti Sarimin.

Sampai akhirnya seorang polisi menjumpainya dan mempersalahkannya. Sarimin didakwa telah mencuri KTP yang ternyata adalah KTP milik hakim agung. Sejak itu, nasibnya berubah seperti bola yang leluasa ditendang ke sana ke mari oleh aparat penegak hukum. Sarimin dipaksa mengaku. Tapi, keteguhan dan kejujurannya mengantarnya ke dalam penjara. Ia bisa dibebaskan asal ia menebus dengan uang. Tapi, uang sepeser pun tidak ada di kantongnya. Kemiskinan terlanjur getir. Butet pun mulai berakting dengan gaya humornya. Parodi dan satir jadi satu. Sesekali ia bermain sebagai polisi. Sesekali ia bermain sebagai seorang pengacara berdarah Batak dan bernama Binsar. Olah suaranya dibilang jago. Meski sesekali keseleo memainkan lidah orang Batak, ia mampu menutupinya dengan banyolan segar.

Kehadiran pengacara menambah hati Sarimin runyam. Ia hanya ingin numpang populer. Bahkan, pengacara bodoh itu melemparkan logika bodoh ke telinga Sarimin: “Karena benar, maka kamu salah.” Logika yang terbolak-balik.

Monolog itu adalah monolog kita sendiri. Rasanya begitu miris memikirkan praktik hukum di negeri ini. Hukum yang tidak lagi memihak pada kebenaran dan keadilan. Tapi, hukum yang bisa dipermainkan oleh uang. Akibatnya, orang miskin semakin menderita oleh sistem hukum ini. Hukum hanya menjadi alat aparat penegak hukum memeras korban. Aku yakin masing-masing dari kita pernah menemui pengalaman seperti Sarimin. Entah di jalan dengan polisi lalu lintas atau polisi pamong praja yang arogan. Ada 1001 pengalaman buruk bersama para penegak hukum ini. Kalau dilihat hanya bikin sakit hati lagi. Anehnya, logika bodoh ini menulari masyarakat. Persis seperti kekerasan yang menular. Rene Girard menyebutnya dengan mimesis, proses tiru-meniru. Tapi, monolog ini mengajak kita untuk menertawakan semua itu. Menertawakan kepahitan. Menertawakan kebodohan. Menertawakan kebebalan. Menertawakan kemiskinan. Menertawakan hidup.

Pukul 22.00, monolog usai. Membuatku merenung. Dunia memang membutuhkan orang-orang yang berani untuk mengatakan benar jika itu benar. Salah jika itu salah. Kutengok peri kecilku di dalam sana. Semoga, peri kecilku nanti bisa tegar dan tidak terjerumus dalam arus dunia yang sarat dengan kemunafikan dan kebodohan. Lalu kita tutup jalan-jalan malam itu dengan menyantap nasi kucing lengkap dengan sate usus dan teh panas di angkringan Cikini.


[sumber foto: www.fotografer.net]

No comments: