TADI malam, aku menonton Kick Andy edisi Andy’s Diary, 22 November 2007. Tontonan setiap Kamis malam pukul 22.00 di Metro TV yang tidak layak ditinggalkan. Sambil membiarkan jari-jariku menari-nari di atas keyboard laptopku untuk sepotong tulisan. Maklum deadline sudah di ambang pintu. Cenut-cenut juga sudah mulai merambati batok kepalaku.
Dalam edisi tadi malam, Andy F Noya, si krebo pemandu acara mengajak pemirsa melihat kilas balik perjalanan Kick Andy. Program ini sangat menarik. Minimal bagiku. Seperti layaknya Oprah, Andy F Noya berhasil menciptakan talk show yang menarik. Dalam. Ringan. Mengalir. Penuh sentuhan human interest.
Kick Andy pun berhasil menghadirkan sosok-sosok luar biasa. Andai pun biasa, bisa digali secara luar biasa. Tepatnya, sesuatu yang biasa yang tidak pernah kita tangkap nilai luar biasanya. Di sana, ada Xanana Gusmao, Jendral Alfredo, Hercules, Andrea Hirata, Suster Apung, para jurnalis perang, dan sebagainya. Beberapa sesi mendapat protes dan kritikan. Apalagi menyangkut tokoh tertentu. Tapi, dengan kalem, Andy mengatakan, “Tontonlah Kick Andy dengan hati, dan bukan hanya dengan otak.” Aku setuju dengan Andy. Hati memunyai matanya sendiri untuk melihat yang tidak terlihat oleh mata kepala dan otak kita.
Tapi, ada satu tokoh yang dihadirkan di Kick Andy yang membuatku menempelkan perhatian lebih erat pada tabung ajaib itu. Tokoh itu adalah Iwan Firman, seorang lelaki keturunan Tionghoa korban Tragedi Mei 1998. Sayang sekali, aku tidak melihat siaran utuhnya pada 10 Mei 2007 dalam edisi “Tragedi itu masih misteri.” Tapi, nukilan singkat ini cukup memutar memoriku. Di studio Metro TV, hadir pula Abdillah. Tema yang diangkat di sana adalah persahabatan dua orang dari dua etnis berbeda.
Nah, rasa-rasanya, aku mengenal dekat orang-orang itu. Kisahnya begitu familiar. Persahabatan dua orang beda etnis. Iwan beretnis Tionghoa dan Abdillah beretnis Jawa. Aku pernah bertemu dengan dua orang ini dalam sepotong wawancara. Cerita di Kick Andy pun mengingatkanku dengan tulisan yang pernah aku tulis di blog ini. Judulnya Merajut Seribu Mimpi yang diposting 19 Februari 2006. Tulisan ini pernah juga diterbitkan di Warta Minggu, buletin milik Paroki Maria Bunda Karmel, Tomang, Jakarta Barat pada 1 Juni 2003.
Aku mewawancari Iwan di rumahnya, di Tanah Tinggi, kawasan Senen. Waktu itu siang hari, 14 Mei 2003, persis 5 tahun saat Iwan mengalami peristiwa naas yang membuatnya cacat, 14 Mei 1998. Aku juga menjumpai Abdillah, penjaga palang kereta api Pos Pintu no. 31, Kembang Pacar, Pasar Gaplok, Senen. Dari cerita dua orang ini, aku menangkap inti persahabatan. Abdillah adalah sosok penyelamat hidup Iwan yang nyaris diakhiri di bantalan rel kereta api itu. Di posko lelaki kelahiran Brebes inilah, aku menemukan foto Iwan ketika masih berfisik normal (lihat di blog). Keduanya sudah bersahabat selama 20 tahun. Sebenarnya, ada satu lagi sahabat Iwan. Namanya Andreas. Tukang siomay keliling inilah yang menjadi sahabat keseharian Iwan. Dialah yang menyediakan makan, menyuapi, bahkan menceboki Iwan.
Nukilan di Kick Andy itu membuatku seperti bereuni dengan tulisanku sendiri. Bereuni dengan tokoh-tokoh dalam tulisan itu. Aku terbawa pada sebuah pengenangan. Mendadak aku terkesiap ketika di akhir nukilan Kick Andy itu, seorang dari penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) bernama Ramayanti memberikan sedekah mewakili Margat T, seorang novelis kawakan.
Rasa-rasanya aku pernah kontak mengontak dengan Ramayanti. Ia juga pernah berkirim surat elektronik sambil membawa pesan dari Marga T sebelum acara Kick Andy itu digelar. Ia mengirim pesan itu ke kotak suratku yang aku pasang di blog ini. Ia menyampaikan kabar bahwa Margat T mencari alamat Iwan Firman untuk memberikan tanda kasih pada korban kerusuhan Mei. Berikut surat dari Ramayanti tertanggal 14 Maret 2007:
Dear Musafirmuda,
Salam kenal. Saya Yanti, editor Gramedia Pustaka Utama. Dengar-dengar Mas kerja di Gramedia Majalah? Masih saudara dong kita? Kami mau minta tolong nih, Mas. Marga T melalui GPU ingin memberikan tanda kasih kepada para korban kerusuhan Mei '98. Kata MT, Mas pernah menulis tentang Iwan Firman? Apakah Mas tahu alamat Iwan dan korban-korban lainnya seperti Andreas Abdillah, Pak Penjaga KA, dan keluarga Almarhum Haji Harun? Trims berat untuk perhatiannya.
Salam,
Yanti
Aku heran aku disangkanya karyawan Gramedia. Maklum, namaku nama pasaran. Lalu, dengan senang hati, aku membalasnya dengan surat tertanggal 17 Maret 2007. Senang juga berkenalan dengan Margat T, penulis serial novel Sekuntum Nozomi itu. Syukur-syukur bisa mencuri-curi ilmu menulisnya. Minimal berbagi energi untuk tetap setia menulis. Mbak Yanti membalas lagi via sepotong surat tertanggal 20 Maret 2007.
Halo Mas,
Trims untuk balasannya. Wah, salah info nih saya, tapi kita tetap saudara di dunia penerbitan, kan. Saya sudah menelepon Iwan dan sudah mendapatkan alamatnya, tapi keluarga Haji Harun sudah pindah dan Iwan gak tahu alamatnya. Saya belum tahu persis kapan tepatnya tanda kasih itu akan diberikan, rencananya sih sekitar pertengahan Mei, tapi kami masih harus mematangkannya dulu karena ada pihak lain yang terkait. Mbak Marga T kebetulan tidak tinggal di Jakarta, Mas, jadi kalau kontak langsung mungkin agak susah. Tapi kalau lewat e-mail sih MT selalu welcome. Alamatnya: marga_xxx@yahoo.com
Sekali lagi, trims berat atas bantuannya.
Salam,
Yanti
Mungkin ini sebuah kebetulan. Kebetulan yang diagendakan semesta. Bagiku, ini seperti obat penawar lupa. Lupa adalah penyakit orang kita selama ini. Lupa sejarah. Lupa bahwa di sekitar kita ada korban. Korban yang diam dan didiamkan. Korban yang dilukai dengan cara-cara yang nyaris melampaui batasan rasa kemanusiaan kita untuk memahami penderitaan itu sendiri. Ekstrem. Nah, menulis adalah bagian dari sikap melawan lupa. Scripta manent, verba volant: yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin.
Menulis bagiku memunyai misi sosial. Tulisan bisa menggugah solidaritas orang. Mengingatkan orang. Meneguhkan orang. Meski tak jarang, tulisan juga bisa membunuh orang. Aku merasa senang ketika tulisanku membuat orang termotivasi untuk membantu orang lain. Dengan demikian, tulisanku ini memunyai energi. Aku mengamini pesan Thomas Carlyle: tulisan yang lahir dari hati akan menyentuh hati-hati yang lain.
Tapi, jujur saja, aku pernah terpuruk oleh suatu pengalaman buruk. Tepatnya, mimpi buruk yang masih menggantung di batok kepalaku. Mimpi buruk itu tak lain aku pernah merasa terlibat dalam pembunuhan seseorang gara-gara aku emoh menulis. Mimpi buruk ini pernah aku tulis di blog ini. Judulnya Apakah Aku Turut Membunuhnya? (silakan klik).
Berikut petikan awal tulisanku tentang Iwan Firman itu:
“Pria berpostur gemuk dengan luka bakar di sekujur tubuhnya itu tampak gelisah. Sesekali, ia menatap kalender yang digantung di dinding ruangan berukuran 2X4 meter. Tanggal 14 Mei 2003. Matahari siang masih menghujamkan panasnya di Tanah Tinggi, Kawasan Senen. Patung panglima Tiongkok Kwang Kong dan seekor burung robin dalam sangkar seolah turut merasakan kegelisahan pria itu. Sejenak mereka hening. Iwan Firman, seorang korban Kerusuhan Mei 1998, takkan melupakan tanggal itu. Lima tahun lalu, pada tanggal yang sama, Iwan mengalami kekerasan yang membuat fisiknya cacat, tak senormal dulu. Siang itu juga, Iwan berbagi kisah tentang peristiwa horor Mei kelabu. Aku duduk mendengarkan. Membuat coret-coret di notes kecilku.” (Selengkapnya)
Thursday, November 22, 2007
Lelaki Itu Muncul di Kick Andy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Nah, menulis adalah bagian dari sikap melawan lupa. Scripta manent, verba volant: yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin.
tulisannya selalu menggugah rasa ingin nulis juga, sayang malesnya lebih banyak berperan. he he
Satu lagi tulisan bagus dari lo Git. Love to read it.Gue mengamini semua yang lo bilang soal menulis adalah bagian dari sikap melawan lupa.
Post a Comment