Tuesday, January 08, 2008

Membaca Philip Pullman

FILM The Golden Compass akhirnya aku tonton juga pada Sabtu siang, 5 Januari 2008 di studio 21 Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mungkin karena The Golden Compass sebagai film anak-anak, bangku-bangku di kanan kiri, depan belakang tempat aku dan ibu peri duduk dipenuhi oleh anak-anak. Riuhnya bukan main. Untungnya, saat film itu diputar, mereka mampu duduk manis menikmati film garapan Chris Weitz dan dibintangi Nicole Kidman itu.

Secara umum, film ini cukup imajinatif sebagai karya fantasi. Fantasinya mirip-mirip Film Harry Potter, Eragon, Lord of The Rings, atau The Chronicles of Narnia. Asal tahu saja, rilis The Golden Compass cukup diiringi dengan gerimis kontroversi. Saat mengendus andanya kontroversi ini, aku sendiri tergelak renyah. Paling-paling wacananya mirip-mirip saat novel The Da Vinci Code karya Dan Brown diluncurkan. Juga mirip Harry Potter buah karya JK. Rowling yang dinilai Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) mengajarkan ilmu-ilmu sihir yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristen. Tentu saja kritikan itu memunyai alasan (reasoning)-nya sendiri. Tapi, sebagai pecinta sekaligus penikmat teks-teks sastra, aku sendiri tidak mau terjebak dalam lingkaran kontroversi itu. Aku sendiri mencoba menemukan dan mencecap seni di dalamnya.

Siang ini, sepotong pesan dari seorang teman mampir di lembar putih ruang chattingku. Intinya, teman itu menghimbau agar aku tidak usah menontonnya dengan alasan tidak bagus dan tidak ada pesan moral apa pun. Gelakku semakin renyah saja. Kadang orang buru-buru berkomentar negatif karena sudah pasang prasangka sejak awal. Memprihatinkan lagi, orang sudah menilai negatif tetapi itu hanya kata orang lain. Dirinya sendiri belum membaca novel dan menonton filmnya.

Sembari menonton, aku mencoba membandingkan imajinasiku ketika membaca versi novelnya dengan visualisasi film itu. Alur ceritanya sebagian besar sama dengan yang ada di buku: petualangan Lyra dari Akademi Jordan sampai Bolvangar di kutub utara. Kekuatan fantasi film itu ada di visualisasi para daemon. Tanpa daemon, mungkin, bobot fantasinya itu terlihat kering. Personifikasi binatang baik daemon maupun sosok beruang kutub seperti Iorek menjadi poin penting. Secara materi, aku menilai sama seperti di buku, film ini masih tergolong berat. Apalagi disajikan untuk anak-anak. Aku menangkap isi buku Pullman sarat dengan muatan teologis. Nah, ini menjadi berat untuk anak-anak yang masih mencerna realitas secara pragmatis. Di sana, dikenalkan kata-kata ‘misterius’ seperti Magisterium, Dust, Dunia Paralel, Daemon, Pemisahan, dan sebagainya. Nah, Pullman seakan mencoba mengemas itu dalam cerita anak-anak. Meskipun demikian, untuk sementara ini, aku menilai upaya Pullman ini gagal. Tidak sesuai dengan target marketnya. Tapi, materi berat ini cukup tertolong dengan plot, karakter yang fantastis, seperti karakter daemon anak-anak yang bergonta-ganti wujud, wahana kutub utara yang memukau, kompas emas ajaib, pasukan penyihir pimpinan Serafina Pekkala yang melayang-layang di udara, sosok beruang raksasa yang superhero, dan sebagainya.

Ada beberapa bagian dalam cerita di buku yang tidak divisualisasi dalam film. Mungkin ini sebagai bagian dari politik film itu sendiri. Toh, menurutku, buku dan film, meskipun memuat cerita yang sama, tetaplah dua entitas yang berbeda. Kata ‘gereja’ yang beberapa kali muncul di buku tidak muncul di film. Ending di buku dan di film juga cukup berbeda. Di buku, wacana teologis Pullman lebih kentara dengan menghadirkan sepotong cerita dari Kitab Kejadian menyoal manusia pertama di Taman Firdaus. Di film, bagian ini dihilangkan. Epilog di film juga lebih dipersingkat ketimbang di buku. Epilognya sangat tanggung. Film ini menyisakan banyak hal misterius yang belum terjawab. Karena ini bagian pertama dari trilogi His Darks Materials, dipastikan akan ada film lanjutan yang mengangkat buku kedua The Subtle Knife dan buku ketiga The Amber Spyglass. Oleh karenanya, cerita Pullman tidak utuh jika tidak membaca ketiga bukunya. Apalagi menghakiminya tanpa membaca larik-larik kata dalam trilogi Pullman itu. Meskipun, ini catatan pribadiku, gaya bercerita Pullman tidak serenyah Rowling atau Lewis.

Pesan Moral
Soal opini temanku bahwa cerita Pullman tanpa pesan moral, aku berpendapat lain. Aku tidak begitu memedulikan Pullman mengusung pesan moral tertentu atau tidak. Bisa jadi, orang terjebak mengais-ngais makna tapi melupakan keindahan cerita itu sendiri. Sama seperti orang yang melakukan perjalanan tetapi lantaran terlalu memikirkan tujuan, ia lupa menikmati warna-warninya realitas di jalanan. Nah, soal mengais makna, aku selalu memperlakukan teks sebagai yang berdiri sendiri. Ia sudah terpisah dengan pengarangnya. Seperti dikatakan Rolland Barthes bahwa the author is dead ketika sebuah tulisan dipublikasikan. Teks dalam hal ini buku atau film memunyai kebebasan besar untuk ditafsirkan pembaca. Pembaca pun memunyai kebebasan menafsirkan teks itu tanpa terbelenggu oleh maksud pengarang. Dalam melihat The Golden Compass, aku bersikap seperti ini.

Hasilnya, aku menemukan pesan moral yang sangat bagus dari buku dan film Pullman ini. Mungkin Pullman sendiri tidak memikirkan atau bermaksud seperti yang aku tafsirkan (perlu studi lebih lanjut). Seusai menonton, aku menangkap ada satu kritik sosial dari film itu. Konsep daemon yang dimiliki anak-anak dan senantiasa berubah-ubah aku tafsirkan sebagai jiwa merdeka anak-anak. Hal ini berbeda dengan daemon orang dewasa yang tetap dan tidak berubah-ubah. Daemon yang disimbolkan dengan sosok binatang ini seperti kehendak bebas. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Jiwa merdeka anak-anak ini dirusak oleh orang dewasa dan oleh institusi-institusi sosial dalam masyarakat termasuk institusi agama (dalam konteks Pullman adalah gereja). Jiwa-jiwa merdeka itu telah dipisahkan dari anak-anak dan menjadikan anak-anak kehilangan kemerdekaannya alias tidak menjadi diri sendiri. Tetapi, perilaku harus disesuaikan dengan aturan-aturan sosial yang kadang membuat orang menjadi sosok-sosok munafik. Aturan itu, menurutku, diwakili oleh terminologi Pullman tentang magisterium. Ingatkan, semakin banyak aturan dengan dalih moral dan kesucian, akan berpotensi melahirkan kemunafikan. Kemunafikan biasanya dilawankan dengan kepolosan anak-anak.

Nah, anak-anak yang dipisahkan dengan daemonnya lewat proses pemisahan, akan mati. Ia tidak hidup. Sekalipun hidup, itu pun kehidupan yang tidak asli. Ini digambarkan dengan jelas dengan sosok Billy Costa, bocah cilik dari komunitas gipsi, yang lunglai setelah dipisahkan dari Ratter, daemonnya (catatan: di buku, karakter ini bernama Tony Makarios). Itu salah satu tafsiranku ketika membaca/menonton karya pengarang kelahiran Inggris itu.

Soal tuduhan ateisme Philip Pullman, aku sendiri tidak buru-buru berkomentar. Aku sendiri bermaksud menjadikan ini menjadi studi atas teks-teks Pullman. Ada yang komentar karya Pullman ini sebagai antitesis karya C.S. Lewis khususnya The Chronicles of Narnia yang kental pesan religiusnya. Memang menurutku, kisah Lewis ini merupakan adaptasi kisah Injil dalam format fabel. Tapi, ada yang menarik dari pernyataan Pullman. Dalam sepotong wawancara dengan The Sydney Morning Herald pada tahun 2003, ia menyatakan “My book are about killing God.” Nah, ini membuncahkan minat pribadiku mengenal Philip Pullman dengan studi lebih lanjut. Sampai buku pertama dan kedua, aku masih mereka-reka titik poin ateisme Pullman. Mungkin terhubung dengan Dust, kebebasan manusia dalam konsep daemon, dunia paralel, dan sebagainya. Aku hanya tidak mau terburu-buru. Aku mau menjadikan ini momentum wisata studi teks-teks Pullman. Mungkin karena daya tangkapku yang terbatas. Tapi, aku tidak mau jadi naif seperti temanku tadi.

Sekarang, di folder komputerku, berderet beberapa artikel seputar Pullman dan karya-karyanya. Dan hari ini, buku Pullman yang lain berada di tangan setelah aku pesan dari toko buku maya, inibuku.com. Judulnya Dulu Aku Tikus (I was a Rat!) dan diterjemahkan oleh Penerbit Gramedia. Dengan begitu, sudah ada 6 novel Pullman di perpustakan pribadiku, yakni 3 buku His Dark Materials, Puteri Si Pembuat Kembang Api, Si Pembuat Jam, dan Dulu Aku Tikus.

Itulah Pullman. Membuatku gelisah. Ia akan hadir di malam-malamku ketika jari-jari ini terlihat begitu sempoyongan untuk segera menumpahkan ide-ide di layar laptoku.

2 comments:

Anonymous said...

Kalo menurut aku, bukunya lebih asyik daripada filmya, dan kebanyakan visualisasi di film memang nggak sepenuhnya 'nyontek' buku, Da Vinci Code, Harry Potter.... Kalo baca buku, kita jadi punya keliaran-keliaran imajinasi, bener ga?

Anonymous said...

Fantasi dan imajinasi bisa lahir oleh sebuah curiousity dan ribuan pertanyaan dari realita yang(dan pernah)ada,,his dark materials,the da vinci code,harry potter,etc..karya satra yang memotivasi dunia pikiran sekaligus analogi rohani yang (seharusnya) memperdalam iman,this is my opinion.