Tuesday, February 27, 2007

ATAKA

ATAKA. Fenomena baru di dunia penulisan. Bocah laki 14 tahun ini meluncurkan novel fantasinya. Buku pertamanya berjudul Misteri Petualangan Skinheald: Sang Pembuka Segel diluncurkan saat ia duduk di kelas I SMP 5 Yogyakarta. Panggung perbukuan Yogya pun heboh. Dua tahun kemudian, tepatnya pekan lalu, Ataka meluncurkan lagi novel serinya Misteri Pedang Skinheald II: Awal Petualangan Besar di Bataviase Nouvellas Cafe, Jakarta. Novelnya cukup tebal, 660 halaman! Bisa dibayangkan, perlu napas panjang untuk menyelesaikan novel ini. Bahkan, ia berniat membuat triloginya.

Acungan jempol layak buat penyandang nama Ahmad Ataka Awwalur Rizki ini. Selain usianya yang masih sangat belia, imajinasinya kuat. Ia mampu menciptakan padang luas narasi dari negeri antah berantah bernuansa Eropa. Padahal, Ataka belum pernah menjejakkan kaki di benua dingin itu. Benua bernama Ethav Andurin yang dihuni berbagai ras manusia, mahkluk setengah dewa, monster-monster, dan sebagainya (bdk. TEMPO, 4 Maret 2007). Selain serial kisah Pedang Skinheald, Ataka sudah menerbitkan novel lain berjudul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter. Genre detektif dalam novel ini amat kental. Ataka sendiri mengaku terbius oleh ide dan gaya menulis novel Sherlock Holmes.

Penggarapan novel kedua ini terinspirasi oleh Narnia karya C.S. Lewis. Kemampuan berceritanya mengagumkan. Narasinya lancar. Dialog-dialognya hidup. Kalimat-kalimatnya lincah. Daya tahannya luar biasa. Ia mampu menjaga suspens antarbab. Ataka bak pelari marathon tanpa ngos-ngosan. Deskripsi situai cukup detail mirip reportase. Penulis Nirwan Dewanto memuji Ataka memiliki bahasa Indonesia yang sangat baik dan bersih.

Ataka menjadi genre tersendiri dari gelombang penulis teenlit dan chiclit. Sudah jamak karya novelis-novelis cilik terserak di rak-rak toko buku. Ataka menjadi semacam ikon paradoks. Di tengah masyarakat yang masih tampak lesu dalam baca dan tulis, Ataka melahirkan karya hasil baca dan tulisnya. Di tengah Bahasa Indonesia yang semakin terhimpit bahasa gaul, Ataka menorehkan narasinya dalam bahasa tulis yang rapi dan bersih. Paling tidak, Ataka menjadi warna lain di antara literatur teenlit yang lebih mengumbar kisah-kisah anak kota, cinta, dan berbau sinetron ala layar kaca. Di tengah dunia konsumtivis yang memasung imajinasi dan kreativitas, Ataka mampu menuangkan imajinasinya dalam novel-novelnya. Di tengah dunia cepat saji, Ataka mampu bertahan untuk menyelesaikan 660 halaman novelnya.

Ataka, fenomena menarik dalam dunia literasi Indonesia. Dengan membaca Ataka, muncul harapan besar akan dunia buku dan penulisan semakin diminati masyarakat negeri ini. read more...

Monday, February 26, 2007

Soliter di Utan Kayu

AKU kesepian. Senyap. Sejak bertolak dari rumah sore tadi, kesepian perlahan menggerayangi hatiku. Kini, sore berubah menjadi senja kelabu. Senja yang beku. Dingin. Lembab. Langit pun murung. Aku terpaku di bangku besi warna hijau diterangi lampion-lampion bercahaya redup. Kesepianku pun memuncak. Di sudut kedai, seorang perempuan berkaos ketat dengan mulut penuh kepulan asap rokok berceloteh pelan dengan laki-laki berkepala pelontos. Tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Sesekali bola matanya melirik ke arahku. Aku tidak bergeming. Aku lagi mendengar senja berjalan dengan langkah-langkah lembutnya.

Semua memilih diam. Seperti sedang sakit gigi. Tidak ada sapa. Tidak ada kata. Tidak ada cerita. Pohon-pohon di pelataran pun mematung. Angin juga lari entah kemana. Bunga-bunga kamboja terserak di halaman penuh paving blocks itu. Sesekali ada yang jatuh dan terkulai. Burung sore menjerit di atas kedai. Suaranya yang melengking bersaing dengan suara mesin motor yang melintas di jalanan. Tak ada satu menit, burung itu pun senyap ditelan kelam.

Aku seperti berada di padang busa yang luas dan basah. Hanya ada aku dan kesendirianku. Tapi, dalam kesendirian itu, matahari muncul dan berputar-putar di dalam hatiku. Tiba-tiba jagat kecilku mengalami siang di saat jagat agung semakin menggelap. Membentuk ceruk hitam raksasa di sana-sini. Semua menjadi jelas dan terang. Bening. Aku sedang gelisah. Aku sedang takut. Aku sedang berharap. Aku sedang bermimpi. Aku sedang kangen. Aku sedang membaca Aku. read more...

Wednesday, February 21, 2007

Cawan Perjanjian

PAGI ini langit masih hitam. Angin belum menggeliat. Belum ada lobang langit pun yang tertembus cahaya matahari. Aku duduk bersimpuh di depan Si Pemberi Hidup. Bagaikan berlutut di depan Dewa Pallas Athena, aku mengucapkan sebuah sumpah. Sumpah yang tertuang dalam sebuah cawan perjanjian. Perjanjian yang mengikat selama 40 hari 40 malam. Abu yang hari ini menempel di dahiku dan dahi orang-orang yang pulang dari pengasingan, menjadi tanda rekonsiliasi hidup. Cetak biru dan resolusi 2007 menjadi adonan lezat sajian dalam cawan perjanjian itu. Aku meminumnya. Sampai habis dan meninggalkan kerontang di cawan emas itu. Tuntas. Tanpa bekas.

Genderang perang telah ditabuh. Hanya ada dua pilihan: maju untuk menang atau maju untuk mati. Tidak ada alasan untuk tidak melangkah. Lihat saja 40 hari lagi, apakah aku mampu mengalahkan musuhku dan merebut cawan kemenangan atau mati sebagai pecundang? Sumpahku cuma satu: mengubah abu menjadi buku! read more...

Thursday, February 15, 2007

Dasar Alfred Hitchcock!

PERNAH nonton film dengan ending menggantung? Lihat saja film besutan penulis thriller detektif Alfred Hitchcock berjudul “The Birds.” Biasanya cerita-cerita yang dilumuri dengan misteri atau teka-teki pasti di bagian akhir akan dipaparkan jawaban dari misteri atau teka-teki itu. Tapi, The Birds (1963) lain. Film yang dibintangi Tippi Hedren, Rod Taylor, dan Jessica Tandy itu justru menggantung teka-teki itu. Selama hampir dua jam, aku, istriku, dan kakak perempuanku memelototi layar kaca tempat film format VCD itu diputar. Mengikuti adegan demi adegan. Tegang. Penuh spekulasi. Tebak-tebakan. Tapi, sebelum teka-teki tuntas dijawab, film berakhir. Dan apa yang terjadi? “Yeahh,” keluh istriku. “Coba dicek, mungkin ada tiga disk?” kata kakak. Aku pun mengecek sampul disk. Cuma dua disk. “Mungkin ketinggalan di rental?” tanya kakakku dengan penasaran. “Yah, kita dikibulin Hitchcock,” imbuh istriku mengumpat. Tertawa pun meledak di antara kami bertiga.

Hitchock bercerita tentang burung. Begitu diputar, gambar gerombolan burung terbang ada di depan mata. Riuh. Nuansa misteri seputar burung sudah terasa di awal. Ada suasana horor di sini. Adegan berlanjut dengan perjumpaan tak sengaja antara Melanie Daniels (Tippi Hedren) dengan Mitch Brenner (Rod Taylor) di sebuah petshop di San Fransisco. Mitch bermaksud membeli burung cinta (love bird) untuk kado ulangtahun adiknya. Mitch dan Melanei pun terlibat obrolan. Berlanjut hubungan. Ternyata Mitch adalah kampiun hukum yang sedang mengikuti kasusnya Melanie.

Suatu siang, Melanie berusaha melacak keberadaan Mitch. Tak susah lantaran latar hidup Melanie di bidang media. Penelusuran ini membawa Melanie pada sebuah kota kecil di pesisir pantai. Namanya Bondega Bay. Sesekali film menanyangkan adegan layang burung-burung pantai. Konflik pertama tiba saat tiba-tiba segerombolan burung menyerang Melanie tanpa sebab jelas. Serangan burung kemudian sering terjadi. Burung-burung pantai menyerang anak-anak yang sedang pesta kebun. Warga sekitar pantai gerah. Lebih-lebih, ketika ditemukan seorang tua mati terkapar di ruangan dengan mata berlobang akibat patukan burung ganas. Tubuhnya bersimbah darah. Teror burung ini menjadi siaga empat bagi warga Bondega.

Melanie, Mitch, dan warga yang lain berusaha keras melindungi diri dari teror unggas udara itu. Semua pintu dan jendela rumah dikunci. Cerobong asap ditutup. Evakuasi pun sebisa mungkin dilakukan. Nah, pada sesi teror-teror ini, kami pun mulai berspekulasi tentang berubahnya karakter burung-burung pantai itu. Dari karakter lembut dan sedap dipandang, menjadi menakutkan dan penebar maut. “Mungkin gara-gara burung cinta yang dibeli Mitch?” kata istriku. “Aku pikir karena ada pencemaran pantai oleh limbah kimia. Limbah itu menyebaban mutasi. Burung-burung itu menjadi ganas,” kataku menduga. “Mungkin karena kekuatan sihir dari sosok perempuan tadi,” timpal kakakku.

Spekulasi akhirnya menemui jalan buntu. Saat adegan evakuasi dari keluarga Mitch selesai, film pun berakhir. Selesai. Narasi rampung dengan menggantung pertanyaan. Lah?!!

Penasaran dengan semua ini, aku berusaha mencari tahu. Dan benar! Memang Hitchcock sengaja mengakhiri filmnya dengan menggantung. Tidak biasa seperti akhir sebuah film pada umumnya. Di situs Hitchcock TV, ditegaskan dalam review: “The film does not finish with the usual "THE END" title because Hitchcock wanted to give the impression of unending terror.” Uhh, Dasar!

Film Hitchock ini mengukir impresi tersendiri bagi aku dan istriku. Lihat saja, saat kami berbaring di ranjang sambil melihat langit-langit kamar, kami pasti terkekeh bila mengingat film itu. Benar-benar terpingkal-pingkal. Hitchock, Hitchcock!

Aku mengenal Alfred Hitchcock saat duduk di bangku SD. Pada masa-masa inilah aku doyan sekali membaca serial novel Trio Detektif-nya. Dalam Trio Detektif inilah, aku mengenal sosok anak muda bernama Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews dalam berbagai petualangan. Judul seri yang sempat aku ingat antara lain Misteri Hantu Hijau, Misteri Kurcaci Gaib, Misteri Puri Setan, dan Misteri Pulau Tengkorak. Trio Detektif menjadi bacaan detektif alternatif di samping Lima Sekawan karya Enid Blyton. Tapi, cerita The Birds, sungguh lain, deh. Ya, dasar Alfred Hitchcock! read more...

Wednesday, February 14, 2007

Mawar Merah Buat Fanny

MEDIA kembali riuh dengan acara-acara bertemakan kasih sayang. Pasalnya, hari ini Hari Valentine. Tadi malam, stasiun Trans-TV mengiklankan rentetan judul film bertema cinta dan keluarga. Sebut saja Runaway Bride, The Wedding Planner, Notting Hill, America’s Sweatheart, dan 50 First Dates. Tampil pula wajah selebriti papan atas dunia seperti Julia Roberts, Hugh Grant, Jennifer Lopez, dan Drew Barrymore. Sementara itu, para penjual bunga boleh mengumbar senyum. Memastikan omzet datang dengan berlipat-lipat. Warna merah jambu pun menempel di mana-mana. Di pusat perbelanjaan, di kafe-kafe, di rumah, bahkan di gereja-gereja.

Tadi malam, sambil duduk-duduk santai bersama istri di sofa hijau, aku pun terlibat obrolan soal pengalaman Valentine. Istriku merayakannya sejak duduk di Sekolah Dasar. Ia cerita tentang sepotong coklat Silverqueen dari mantan pacarnya. Sepotong coklat dalam cinta monyet. Lalu, menikmati sebuah music dance di sebuah diskotik bareng bersama teman-teman SMP-nya. Lalu setangkai mawar merah dari kekasihnya. Lalu sebuah kecupan tak terlupakan. Terus kue cinta, kartu bergambar hati, dan sebagainya. “Kamu besok mau dihadiahi apa?” tanyaku. “Aku tidak mau dihadiahi apa-apa. Mending ditabung saja,” jawabnya sambil melempar senyum khasnya.

Beda dengan istriku, sepanjang hidup aku tidak pernah merayakan Hari Valentine ini. Hari macam ini berjalan biasa sama seperti hujan yang mengguyur ibukota, meninggalkan kubangan, kemacetan, banjir, dan derita. Biasa saja. Tidak ada coklat. Tidak ada kue. Tidak ada wine. Tidak ada kartu merah jambu. Tidak ada surat cinta. Tidak ada mawar merah. Tidak ada kecupan. Tidak ada kado dengan sampul bertabur gambar bayi malaikat bersenjata panah. No Cupid. Tidak ada apa-apa. Biasa. Tidak pernah diberi mawar dan tidak pernah memberi mawar.

Memang, aku tidak begitu peduli dengan seremoni macam ini. Banyak hal sudah diseremonikan. Tapi, ada yang berubah hari ini. Aku mengirim setangkai mawar merah elektronik kepada seorang gadis muda. Namanya Fanny Felicia. Kok bisa? Pagi tadi, seorang teman mengirim kabar di milis. Teman ini mengabarkan bahwa sahabat mudanya bernama Fanny Felicia meninggal dunia 14 Februari dini hari. Fanny mati saat Hari Valentine baru saja tiba. Ia mati karena muntah darah. Ia masih muda. Ia baru saja duduk di kelas 2 SMP Tarcisius. Ia pun aktif menjadi pelayan ibadat sebagai puteri Gereja.

Tak tahu kenapa, rasa duka ikut menggelayut pelan di hatiku. Aku memang tidak mengenal gadis belia itu. Tapi, aku yakin aku pernah melihatnya saat ia mengenakan seragam warna krem dan memasang muka ceria saat melayani di misa minggu. Saat teman-teman sebayanya ber-dag-dig-dug menyambut Valentine, Fanny justru menghembuskan napas terakhirnya. Ia masuk dalam kesenyapan. Meninggalkan kemeriahan. Sunyi.

Sebagai ungkapan simpatiku, 'kupetik’ setangkai mawar merah elektronik dan kukirimkan kepadanya di milis tempat kematiannya dikabarkan. Hari ini aku persembahkan dari hati terdalam, setangkai mawar Valentine pertamaku. Buat Fanny Felicia. Di sebelah bunga itu, kutulis sebaris kata: “Selamat berbahagia bersama Tuhanmu, Para Kudus, dan malaikat di surga. Valentine-mu pastilah mengalami kepenuhan sekarang!” Doa dan mawarku untukmu. read more...

Blog, Perjumpaan, dan Citizen Journalism

PAGI hari di ruang redaksi. Senin, 5 Februari 2007. Koran Tempo sudah ada di tangan. Membaca koran. Sebuah ritus mengawali hari sebelum digempur pekerjaan kantor. Di antara berita tentang banjir yang merunyamkan ibukota, sebuah judul memikat mata. Tempo meluncurkan blog interaktifnya. Aha, menarik sekali. Terlebih blog menjadi salah satu ruang kegemaranku untuk menumpahkan tulisanku selama ini.

Menurut Tempo, blog telah menjadi sarana berkomunikasi dan berinteraksi yang sangat maju dan efektif. “Kami yang berkecimpung di dunia media juga melihat perubahan yang signifikan atas apa yang diinginkan dan dibutuhkan pembaca. Berita atau liputan yang kami anggap penting belum tentu diinginkan pembaca, begitu pula sebaliknya,” katanya.

Blog juga disadari sebagai ruang percakapan. Ketika web tradisional lebih terkesan kaku, resmi, dingin, blog menyuguhkan ruang baru dengan sentuhan personal, lebih hidup, memunyai banyak ‘jendela’, dan memungkinkan percakapan.

Blog menjadi bagian dari proses revolusi komunikasi. Dengan blog, aku tidak perlu ambil pusing untuk memajang tulisanku sendiri. Aku benar-benar menjadi subjek atas tulisanku sendiri. Dulu, begitu susahnya menerbitkan tulisan di koran-koran atau majalah. Proses seleksinya ketat. Tak jarang, tulisan dipaksapulangkan dengan dalih tidak ada ruang. Tapi, blog hadir dan memahkotai kita sebagai raja. Kita bebas memposting tulisan. Bebas mengedit. Dan tulisan kita bisa dibaca miliaran pembaca di muka bumi ini. Suatu ruang baca tak terbatas bila dibanding media konvensional. Fenomena blog menjadi tambahan kata ‘amin’ pada gagasannya Michel Foucault bahwa kekuasaan nyata terserak di mana-mana. Kekuasaan tidak lagi dimiliki oleh mereka yang duduk di pucuk hierarki. Tapi, milik semua orang.

Blog juga mengubah wajah jurnalisme. Dua tahun silam, peristiwa 7/7, saat bom mengguncang London, blog menjadi sorotan pengamat berita. Blog menjadi sumber informasi pioner dalam tragedi London itu. Tim Porter, seorang warga London, baru sadar ada serangan teroris setelah ditelepon mertuanya. Segera ia berselancar di internet. Radio dan televisi masih bungkam. Situs dot com yang menjadi penyedia berita juga sama. Porter menemukan informasi dari sebuah blog milik Jeff Jarvis dan Steve Yelvington. Mereka tinggal sangat dekat dengan pusat ledakan. Ia mem-posting rekaman video amatir suasana panik dalam stasiun kereta api bawah tanah. Gambar diambil oleh Adam Stacey lewat ponselnya. Beberapa menit kemudian, situs berita seperti BBC, radio, dan televisi ramai-ramai memberitakan kejadian itu. (bdk. Pepih Nugraha, Kompas).

Peristiwa itu menandai lahirnya jurnalisme warga atau citizen journalism. Kecepatan menyiarkan kejadian tidak lagi dimonopoli oleh wartawan profesional. Hal ini semakin menjadi tren juga. Banyak stasiun televisi Tanah Air saat terjadinya bencana mencoba mencari berbagai video amatiran. Contohnya, saat air bah tsunami tumpah. Di Indonesia, blog semakin marak meski masih terbatas pada lingkungan tertentu. Di saat bencana, media yang bisa merangkul hampir semua lapisan mayarakat Indonesia adalah radio. Namun, derap blog semakin kentara. Suaranya sudah terdengar di kesenyapan.

Jurnalisme model ini pun tidak bebas kritik. Tapi, realitas membuktikan begitu digdayanya dia. Para pengelola media konvensional harus rendah hati untuk berani membuka diri pada fenomena baru ini. Lihat saja pengalaman Ohmy News. Ohmy News adalah blog milik Oh Yeon-ho, warga Korea Selatan, yang menyuplai berita-berita dari warga biasa. Koran tanpa kertas ini dibaca sekitar 700 ribu pengunjung tiap harinya. Ohmy News terbit pada 22 Februari 2000. Sekarang, ia memiliki lebih dari 41 ribu ‘jurnalis’ dari berbagai negara. Aku sendiri sudah mendaftar menjadi salah satu anggotanya meski masih absen mengirim berita dari Indonesia. Ohmy News adalah contoh nyata Jurnalisme Warga. Motonya tegas: “Every Citizen is a Reporter.” Setiap warga adalah wartawan.

Tapi, apakah kehadiran internet dan blog ini akan mengancam eksistensi media-media konvensional? Majalah The Economist edisi 26 Agustus 2006 sesumbar “Who killed the newspaper?” Jawabannya jelas, internet! Internet membawa ruang informasi dengan labirin tak terbatas. Semua isi koran bisa dijadikan satu dalam ruang itu. Soal kecepatan, jelas jawabannya. Namun, aku sendiri tidak begitu menyoalkan ‘nubuat kematian’ itu. Tapi, perubahan tidak bisa dicegah. Suatu saat bisa jadi apa yang dimimpikan terwujud. Waktu yang akan menjawabnya.

Kembali ke laptop? Duh, meniru jargonnya Thukul dalam Empat Mata. Maksudnya, kembali soal blog. Untuk sementara ini, aku masuk dunia blogger karena banyak manfaat yang bisa kudapatkan. Namun jangan berbangga dulu. Meski menjadi blogger berarti menjadi tuan atas tulisan sendiri, itu tidak sepenuhnya benar. Bisa jadi, tiba-tiba, pemilik layanan blog menghapus layanannya dari rimba maya ini. Duh, bisa berabe tho! So, saat berpetualang di dunia maya, risiko tidak pernah jauh. Modernitas memang ambigu!

Tidak usah diambil pusing berlebihan. Manfaatkan sebaik-baiknya layanan komunikasi ini. Tidak melulu untuk menulis sebuah peristiwa, tetapi blog menjadi ruang untuk menulis itu sendiri. Ruang belajar. Ruang perjumpaan. Ruang persentuhan. Ruang berbagi. Lebih-lebih berbagi hidup dengan orang lain. read more...

Tuesday, February 13, 2007

Hujan, Perpustakaan Rumah, dan Resolusi 2007

HUJAN yang menghajar Jakarta dan menyebabkan banjir belakangan ini juga ikut menghajar perpustakaan pribadiku. Meski lingkungan rumahku tidak kena banjir, tetapi guyuran butiran jagung air dari langit itu mampu membobol langit-langit rumahku. Air hujan jatuh di atap yang bocor, merambat melalui dinding dan membasahi lantai. Belum sempat aku ungsikan di tempat aman, buku-buku yang tergeletak di lantai terlanjur basah. Sementara itu, udara lembab membuat buku-buku yang ada di rak terserang jamur. Bintik-bintik hitam mulai menghiasi sisi-sisi putih bukuku.

Melihat itu semua, aku tidak boleh tinggal diam. Tukang pun dipanggil. Genting dirapikan dan dilapisi cat antibocor merek Aquaproof. Minggu lalu (1/2), kuhabiskan hariku dengan merapikan ruangan perpustakaan. Sebenarnya, ruang perpustakaan ini multifungsi. Di samping rak besar, tergolek ranjang tidur. Di sebelahnya, ada meja belajar lengkap dengan lampu duduk, printer keluaran Hewlett-Packard, berserta tumpukan buku yang lain. Di ruang ini pula, aku melakukan aktivitas menulis.

Buku-buku itu harus diselamatkan. Apalagi resolusi personal tahun 2007 adalah mengoptimalkan aktivitas menulis, membaca, dan mengirim tulisan ke media massa atau penerbit. Di perpustakaan ini, ada sekitar 1500-an buku dengan beragam kategori. Ada buku-buku filsafat (koleksi sejak kuliah di STF Driyarkara), sosiologi, sastra, bahasa, dan sebagainya. Untungnya, istriku juga punya rasa eman dengan buku. Semenjak ia mendapat kiriman lima jilid novel Harry Potter, ia mengusulkan agar buku-buku itu diberi sampul plastik. Sebenarnya, ide serupa sudah ada sejak dulu. Tapi, lantaran rasa malas, ide ini tidak pernah diwujudkan. Akibatnya, banyak buku-buku yang bagus tetapi sudah bertampang kumal, penuh cendawan, dan bau.

Merawat perpustakaan rumah tidaklah susah-susah amat. Menurut arsitek Saptono Istiawan, ada tiga hal yang patut diperhatikan dalam memelihara perpustakaan yang difungsikan juga sebagai ruang baca. Pertama, cukup penerangan dan pencahayaan. Kedua, cukup penghawaan untuk menghindari lembab yang berpotensi merusak buku dan demi kenyamanan pembaca. Ketiga, cukup hening dari polusi suara.

Perlahan, aku juga mau mendata seluruh buku-buku yang aku miliki, lengkap dengan stampel, dan sebagainya. Semoga dari ruang kecil inilah, ada banyak hal hasil olah intelektualku bisa mewarnai berbagai media. Itu bagian dari resolusi personal 2007. Konsekuensinya, aku harus mengubah pola hidup lamaku. Orang lain sudah banyak menulis buku. Padahal, peluang, piranti menulis, bakat, sudah aku punyai. Tinggal komitmen dan jiwa besar untuk mewujudkannya.

Seorang kawan, panggil saja Heru, pernah melontarkan pertanyaan yang menusuk kesadaranku. “Di ruangan ini, banyak tergeletak buku-buku bagus, lalu yang mana buku karyamu sendiri?” katanya menyindir. Memalukan memang. Coba bandingkan dengan para penulis besar yang melahirkan karya-karya dalam situasi serba terbatas. Sebut saja penjara.

Ruang Baca Tempo edisi 3 Januari 2007 menyuguhkan kisah para penulis buku-buku dari balik jeruji besi. Ada Fvodor Mikhailovich Dostoesvsky yang mendekam di kamp Katorga, Omsk, Siberia. Bergulat dengan udara dan lantai penjara yang dingin, ia menghasilkan novelet psikologi fenomenal The Double. Ada lagi Ho Chi Minh dari Vietnam. Lelaki yang punya nama asli Nguyen Sinh Cung dan akrab dipanggil Paman Ho ini memilih jalan puisi sebagai bagian dari perjuangannya. Di dalam sel besi, ia melahirkan antologi puisi yang ia rangkum dalam A Comrades Paper Blanket. Nah, ada lagi Hitler dengan Mein Kampf-nya. Aung San Suu Kyi dengan Freedom From Fear and Other Writings. Voltaire dengan Oedipe.

Nah, mampukah aku mengubah ruang perpustakaan rumahku itu menjadi ‘penjara,’ tempat buku-buku bakal dilahirkan? Atau membiarkan ruangan itu menjadi uzur, berdebu, dan mandul? Tahun 2007 adalah tantangannya. Paling tidak, komitmen atas resolusi personal di Tahun Babi Api ini yang akan membuktikannya. Yang jelas, tidak usah muluk-muluk! read more...

Monday, February 05, 2007

Keretaku Berhenti Lama

SENJA sudah pudar di kaki langit. Malam semakin menyempurnakan diri. Kulempar senyum pada istriku saat Kereta Senja Utama mulai merangkak meninggalkan Stasiun Tugu. Istriku membalas dengan kedipan genit dari matanya yang tajam. Kurebahkan manja tubuhku di bangku kereta yang tak empuk lagi. Tubuh yang cukup lelah setelah seharian mengikuti prosesi pemakaman jenazah kakek.

Roda-roda kereta terus berderit. Semakin kencang dan bergemuruh. Lampu-lampu di jalan dan di rumah-rumah penduduk di pinggur rel tampak berlarian kencang di balik jendela.
“Sampai Jakarta jam berapa?” tanya istriku yang duduk sebangku dengan tanteku. Aku sendiri duduk di samping lelaki tua bersafari hitam.
“Kalau tidak telat, pukul lima sudah sampai di Jakarta. Kamu tidur saja. Hemat energi buat pekerjaan besok,” balasku.

Istriku tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Sudah satu hari ia izin tidak masuk kerja di pusat perbelanjaan milik orang Prancis. Masak ia harus izin lagi gara-gara keretanya ngadat. Aku mengambil majalah dan mulai membacanya. Rasa kantuk mulai menggerayangi kepala. Aku pun tertidur meninggalkan halaman majalah yang belum rampung kubaca.

Aku terjaga. Udara terasa gerah. Kulitku basah oleh keringat yang mengintip di pori-pori. Suara gaduh muncul di gerbong dan di luar jendela. Keretaku berhenti. Stasiun Ciledug ramai dengan orang. Kulihat jam ponselku menunjuk pukul 1.30 WIB. Dini hari yang panas, 29 Januari 2007. Aku mulai mengibaskan majalahku untuk mengusir hawa panas. Istriku juga tampak tidak jenak. Aku pikir ini sebuah perhentian biasa. Menunggu kereta di depan lewat. Toh, relnya cuma satu, jadi harus gantian. Namun, ada indikasi ketidakberesan. Orang mulai kasak-kusuk. Ada yang bilang lokomotifnya mogok. Ada yang bilang kereta lain anjlok. Banyak spekulasi di gerbong berkapasitas 64 orang itu.

Akhirnya, seorang petugas kereta melewati gerbong. Petugas itu memberitahu kami tentang adanya kereta yang anjlok di Barat Stasiun Cirebon. Tapi, masih belum jelas persisnya berita itu. Aku merogoh saku celana jeansku dan menemukan ponselku sudah tak bernyawa alias beterainya habis. Demikian juga ponsel istriku. Sementara ponsel tanteku masih berfungsi mengabari saudara lain meski sedang sekarat alias lowbat. Informasi detail baru aku dapatkan sore hari di warnet dekat Universitas Bina Nusantara. Ternyata, KA Bengawan KA-156 jurusan Jakarta-Solo anjlok di antara Stasiun Arjowinangun dan Stasiun Bangodua Cirebon. Lagi-lagi, kecelakaan kereta. Padahal dua pekan sebelumnya KA Bengawan anjlok di atas Kali Pagar Banyumas dan menewaskan lima orang. Hati sempat mengumpat. Tampaknya, pemerintah tidak pernah belajar pada masa lalu. Kecelakaan kereta terus terjadi. Belum kecelakaan kapal terbang dan kapal laut. Korban sudah berjatuhan. Bangsa ini bukan bangsa pembelajar.

Banyak penumpang kereta keluar dari gerbong. Entah mencari angin segar maupun meminta informasi pada para penjaga stasiun. Pukul 2.30 WIB, corong mikrofon stasiun mengumumkan agar para penumpang di gerbong kereta ekonomi, kereta yang berhenti di samping keretaku, untuk turun dan akan dioper dengan bus menuju Stasiun Cirebon. Gaduh bercampur umpatan dan wajah-wajah kesan mengiringi kepindahan mereka. Aku memilih keluar. Berjalan ke pos penjagaan. Ngobrol dengan penumpang lain sambil melepas kekesalan. Istriku memilih tetap tinggal di perut kereta.

Pukul 5.30 WIB, keretaku kembali diberangkatkan. Pekat dan hitamnya langit sudah pudar. Terang mulai nampak dari arah Timur meski matahari tidak nongol karena mendung. Angin sawah masuk ke gerbong memalui jendela yang kacanya sudah retak. Bercampur bau tanah, angin ini membawa sedikit kesegaran. Berderitnya roda-roda kereta itu menumbuhkan harapan bagi kami untuk cepat sampai Jakarta. Meski kami tahu kami sudah tidak bisa masuk kerja hari itu. Namun, harapan itu kembali menguap saat kereta berhenti lagi di Stasiun Luwung.

Di luar jendela, daun-daun pisang melambai-lambai kencang. Seolah mengejek dan menertawai kami yang sedang kena musibah ini. Kulihat istriku cemberut dengan kerutan wajah pucat tanda kurang tidur. Sepucat pagi yang sudah semakin terang. Seperti di stasiun sebelumnya, keretaku berhenti lama lagi. Penumpang kembali berhamburan ke luar. Bergerombol dan ngobrol ngalor-ngidul untuk membunuh kejenuhan. Suara tangis bayi memecah pagi dari gerbong depan. Tak lama, petugas datang dan memberitahu bahwa kereta akan diberangkatkan ke Cirebon dan di sana seluruh penumpang akan dioper dengan bus menuju Stasiun Arjowinangun.

Namun, baru pukul 9.45 WIB, kereta kembali merangkak. Tante pun sempat menge-charge baterai ponsel di pos penjagaan meski tidak penuh. Tiba di Cirebon, para penumpang segera berhamburan, berebut bus yang disediakan di belakang stasiun. Aku pun berlari bersama istri dan tanteku. Akhirnya, kami pun dapat bus pariwisata. Untungnya, kami dapat bus ber-AC sehingga udara di perut bus pun terasa segar. Setengah jam kemudian, bus berangkat dan melintasi jalan-jalan di Kota Cirebon. Duapuluh menit kemudian, bus sampai di Stasiun Arjowinanngun. Di sana, kami dioper lagi dengan kereta Senja Utama menuju Jakarta. Satu jam kemudian kereta berangkat menuju Jakarta. Lanting dan sebotol aqua yang dicampur bubuk minuman energi Extra Joss menjadi ganjalan perut di perjalan berikutnya.

Tiba di Jakarta, langit sudah mulai merah. Senja sudah mengintip di kaki langit. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan dengan mantap. Lega meski penuh gumpalan kekecewaan. Kugandeng istriku menuju depan Stasiun. Tak lama, taksi blue bird membawa kami meluncur ke Kebon Jeruk. Inilah perjalanan keretaku paling lama dengan melalui dua senja sekaligus. Jakarta kembali kupeluk meski dua hari sesudahnya hujan deras menghajar. Meninggalkan banjir dan derita baru. read more...

Sunday, February 04, 2007

Kematian Kakek

YOGYAKARTA terasa dingin dan lembab. Langit malam nyaris kosong. Hitam. Tampak satu dua bintang berkelip malu di tempat yang berjauhan. Halaman parkir Stasiun Tugu masih basah. Tanda hujan belum lama berlalu dari Kota Gudeg ini. Jam digital di ponselku menunjuk pukul 23.55 WIB. Hampir sembilan jam, aku, istriku, dan lima saudaraku berada di perut kereta Jayabaya jurusan Surabaya. Kami pulang kampung. Bukan untuk liburan, tapi karena kematian kakek. Kakek meninggal minggu pagi pukul tujuh di RS Panti Rapih. Hampir tiga minggu kakek berjibaku dengan sakit akibat komplikasi. Selain itu, usianya sudah sepuh, 86 tahun. Raganya pun sudah rapuh. Kabar kematian ini pun tidak begitu membuat kami bersedih, minimal diriku. Harusnya justru bersyukur karena kakek sudah berhasil melewati masa-masa sakit. Apalagi dikaruniai umur panjang. Umur yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang sekarang.

Di parkiran, salah satu omku sudah menunggu kami. Kijang biru yang satu setengah jam tergolek di sudut parkiran segera kami masuki. Kami pun melenggang menyusur jalan Pasar Kembang. Sepi. Di tepi jalan, nampak warung ‘nasi kucing’ alias angkringan masih buka dengan tiga pemuda kelihatan asik bercengkerama. Dari Pasar Kembang, mobil belok ke selatan, melintasi Bugisan, Madukismo, dan berhenti di Sembungan. Tepat, di samping rumahku.

Rumahku terlihat terang. Lampu-lampu neon menggantung di bawah tenda menerangi kursi-kursi yang belum rapi tertata. Rupanya, jenazah kakekku disemayamkan di ruang tamu rumahku. Rumahku berhadap-hadapan dengan rumah kakek. Dipisahkan oleh sebuah taman kecil. Persis saat mobil kijang berhenti, isak tangis meledak dari mulut tanteku. Gulungan air mata segera membanjiri pipinya. Aku tetap tenang. Kuambil tasku di bagasi dan berjalan pelan menuju kamar tempat jenazah kakekku disemayamkan.

Udara masih saja dingin. Di depan kamar, saudara-saudaraku yang lain berdiri dan menyalami kami. Hening. Senyap. Mata-mata saudara perempuanku tampak sembab. Termasuk mata ibu, anak sulung kakekku. Sudah berapa liter dikeluarkan dari kalenjar mata mereka. Aku sendiri heran, kenapa kematian harus ditangisi? Apalagi untuk seorang seperti kakek yang memang sudah waktunya Toh, kematian adalah salah satu kepastian selain ketidakpastian itu sendiri. Kematian lumrah bersanding dengan kehidupan. Aku tidak menyalahkan mereka yang kelihatan atau sok kelihatan cengeng itu. Cengeng juga lumrah. Aku jadi ingat apa yang dikatakan Khalil Gibran dalam sajaknya berjudul Kekasihku Layla. “Kehidupan lebih lemah dari kematian, tetapi kematian lebih lemah daripada cinta...” tulis penyair Lebanon itu.

Di kamar, peti coklat berhias kelambu putih dengan pernik bunga di sana-sini tergolek tenang. Sepasang lilin menyala kecil, ditemani sebatang dupa yang sudah hampir habis dimakan api. Wangi. Ruangan itu wangi oleh dupa. Foto lukisan pensil wajah kakek diletakkan di meja. Tampan. Gagah. Sebuah wajah umur duapuluhan.

Aku melangkah maju. Di dalam peti, terbujur sosok lelaki tua terbujur kaku dan dingin. Tubuh sosok tanpa detak jantung itu terbalut jas warna hitam, lengkap dengan dasi, dan sepatu vantopel. Sebuah dandanan untuk sebuah pesta atau acara resmi. Mungkin sebuah simbol. Simbol bahwa kematian tidak perlu ditangisi. Kematian adalah jalan menuju pesta. Pesta abadi di mana kematian tidak bakal datang lagi. Pesta milik orang-orang yang telah menuntaskan panggilannya di muka bumi ini.

Di depan jenazah kakek, aku berdiri dan berdoa. Pelan berputarlah memoriku tentang perjumpaan bersama kakek selagi hidup. Sepotong-sepotong, seperti acara kilas balik di televisi di penghujung tahun. Aku jadi ingat pada sepotong siang, saat aku libur dari asrama, ngobrol bareng kakekku. Banyak hal, dari spiritualitas orang Jawa, kisah pewayangan, tembang, hingga pengalaman masa muda, gadis-gadis cantik, hantu, dan sebagainya. Aku ingat juga cerita kakek saat dikejar-kejar ‘begal’ (penjahat) di kebun tebu. Kakek terpojok. Ia pura-pura mau mengeluarkan pistol dari celananya. Melihat keseriusan mimik kakek, larilah penjahat itu. Kakek pun terkekeh bangga. Aku juga ingat saat kakek bercerita pernah tidur di kuburan. Saat tidur ia pernah didatangi genderuwo, hantu raksasa buruk rupa. Ia berkelahi. Tubuh kakek diangat dan dilemparkan ke tanah. Uhh, ada-ada saja ceritanya. Yang jelas, aku menyesal kenapa aku tidak pernah menuliskan hasil obrolan itu.


Kini, kakek sudah mati. Ia seperti seorang Godfather yang meninggalkan banyak cerita dan kebanggaan. Jasadnya sudah dikubur di tanah Gunung Sempu esok harinya. Selamat jalan!
read more...