Friday, March 23, 2007

Untukmu Aurel

ENGKAU datang lebih awal hari ini. Biasanya, engkau menyukai malam-malam yang hancur. Tapi, di malam yang setengah matang ini, engkau hadir dan menyapaku. “Kini pun, aku menanti-nanti malam. Bersedekap dalamnya. Menemui dia, sang bisu. Dan mulai bicara dalam bahasa yang tak dikenal manusia.”

Tahukah kamu, saat kau mengirim pesan pendek itu, aku bertanya apakah engkau akan hadir lagi di malam ini. Malam-malam di mana kelopak mata enggan ditutup. Malam-malam, di mana hasrat menggumuli kasur dan bantal jauh dari niat. Malam-malam insomnia, di mana kita bersama-sama merayakan keruntuhannya.

Sebelumnya, aku mau menyampaikan kabar. Kemarin, angin bertiup kencang. Pohon-pohon di depan kantor meliak-liuk seperti diva kesurupan di atas pentas. Mungkin, puting beliung berkunjung di ibukota. Bisa juga badai-badai yang lain yang suka datang tidak diundang dan pergi tidak diantar. Mirip jalangkung. Badai-badai yang berlarian tak keruan arah lantaran bumi semakin panas. Panas karena hutan-hutan digunduli, atmosfer dibekap gas-gas racun dari pabrik-pabrik industri, tanah-tanah dilapisi aspal dan ditanami tian-tiang baja, pojok-pojok jalan dikotori sampah-sampah dari dapur-dapur rumah. Ah, manusia telah merusak rumahnya sendiri. Dan di kaki langit sana, bayangan kematian perlahan melangkah mendekati kita. Derap langkahnya terdengar lirih di balik kesenyapan. Tinggal menunggu waktu.

Badai itu membentur-bentur tubuhku yang sedang menunggangi sepeda motorku sepanjang Jl. Gatot Subroto. Mereka ingin menghempaskan tubuhku di jalanan beraspal. Mereka mau membunuhku. Tapi, mereka urung karena aku memilih menepi dan melambatkan laju motorku. Sementara itu, gelap mulai membungkus seluruh isi kota. Matahari telah pergi tanpa jejak.

Kabarku semacam itu, Aurel. “Malam-malam insomnia beraroma jeruk nipis. Malam di mana peri langit terbang di atas atap rumah. Dialah yang menyampaikan sepotong sapa untuk dirinya di timur sana.” Satu larik kata kutitipkan pada peri langit agar disampaikan padamu, Aurel, karena engkau datang lebih awal hari ini.

Tanpa lama, peri itu hinggap lagi di atas rumah. Membawa sepotong balasanmu. “Aku ingin pergi dan tinggal sendiri. Aku ingin merasa benar-benar berdiri. Kepadanya yang terbang tinggi. Aku iri. Aku iri.”

Aku tidak begitu mengerti mengapa engkau ingin terbang tinggi. Mungkin mencium pelangi. Bersemuka dengan rembulan. Melihat bumi dari bola mata Tuhan. Yang terakhir ini menarik. Apa komentar Tuhan melihat bumi yang jutaan tahun telah ia bentuk dari jemarinya? Ah, aku tidak tahu. Aku hanya bisa membalas dengan selarik lagi. “Pernah saat senja beringsut pelan, aku terjatuh dalam ceruk nurani. Aku ingin sendiri. Mencipta mimpiku sendiri. Terbang menembus langit ketujuh. Menyapa bulan. Merangkaki pelangi dan mengatakan aku jatuh hati. Pada sepi. Pada sunyi.”

Lalu, tubuhku roboh dan meleleh di dalam selimut. Aku tertidur tanpa tahu engkau masih mengirimiku selarik sapa lagi. “Imajinasiku jatuh terserak di gundukan angka-angka dan sakit punggung yang menggila. Selamat tidur, tuan pengembara!”

Itu dulu, Aurel. Aku hanya menulis saja. Ada pepatah Latin, scripta manent verba volant. Artinya, yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin. Dan aku mengharapkan engkau tetap abadi. Abadi laksana ketidakabdian itu sendiri. read more...

Thursday, March 22, 2007

Fe

Aku pernah mengirim pesan pendek pada gadis ini saat ia berada di perut kereta yang menjalar dengan tujuan stasiun Tugu. Pesanku tidak ditanggapi. Sejak saat itu, ia menghilang tanpa jluntrung. Berbulan-bulan. Sampai akhirnya, di sebuah sore, aku mengajaknya bertemu sekadar melepas rindu sambil menikmati mendoan panas di ujung jalan kawasan Blok B.

Fe begitu aku sering menyapa gadis itu. Dia seorang jurnalis muda sama sepertiku. Aku suka dengan gadis ini. Sosoknya cerdas, tegas, plus melankolis. Lebih-lebih, ketika ia menjentikkan jari untuk sekadar menulis sepotong narasi hidupnya di tengah kesibukannya menulis berita. Tulisannya bagus, mengalir, berisi, dan beraroma sastra. Hampir tidak pernah absen, setiap pagi aku memulai menghidupkan komputer, kukunjungi blognya.

Dulu, aku tampak begitu akrab dengan dirinya. Tak jarang, perjumpaan pun digelar. Kami sering mengadakan perjumpaan di kedai mendoan ujung jalan itu. Biasanya, aku menjemput di kantor redaksinya dengan motor hondaku saat senja beringsut pelan. Pernah, kami mengunyah malam basah dengan menikmati Burger Blenger di Blok M atau Gultik di Bulungan. Serpihan perjumpaan juga terjadi di kosnya di bilangan Palmerah. Kos yang seluruh kamar dihuni oleh mahkluk berkelamin perempuan. Sebuah kos yang unik. Setiap Fe mengajak cowok masuk ke kamarnya, dari kejauhan Fe sudah melempar peringatan dengan meneriakkan kata “permisi!”. Pasalnya, lorong menuju kamar Fe harus melewati ruang nonton TV di mana para bidadari itu memanjakan mata mereka menonton sinetron, film, atau kuis setelah seharian digempur urusan kantor. Tak jarang, ketika aku mau lewat, para perempuan itu sibuk menata gaya duduknya, merapikan rok, kutang, dan sebagainya. Ah, sebuah peluang cuci mata yang menarik.

Fe menyukai ornamen katak. Di kamarnya, terdapat aneka barang, boneka, stiker, rumbai-rumbai yang digantung di pintu kamarnya, semua berornamen katak. Aku tidak tahu kenapa ia menyukai ornamen katak. Samar juga filosofi di kepalanya tentang katak. Aku alpa menanyakannya. Dulu, di kamar itu, ia berbagi banyak cerita. Ia berencana membuat buku. Ia berencana mengambil S2 Budaya dan Religi di Sanata Dharma. Ia bercerita tentang ayahnya. Ibunya. Kakaknya. Tapi, itu dulu sebelum kereta malam menculiknya dan pesan pendekku tiada terbalas dan sosoknya raib di balik kelam.

Sekarang, aku menemuinya hanya di dalam blognya. Usaha untuk sebuah sua pun belum kesampaian juga. Kopi darat di kedai mendoan ujung jalan itu pun belum terlaksana. Sepotong-sepotong saja aku menemukan jejaknya. Gadis ini laksana bayangan di balik gundukan ilalang tersaput kabut pagi. Mungkin, ia sedang ke Jogja untuk mengirim dua buket aster merah marun buat bapak ibunya. Mungkin, sedang berceloteh dengan kakaknya dalam sebuah pesan pendek, telepon, atau email. Mungkin sedang berselingkuh dengan si abang. Sedang sibuk menghapus warna biru yang membekap hatinya. Sedang berbagi gelak, berbagi api untuk sebatang rokok, berbagi sebotol red wine. Sedang menunggu bola raksasa amblas pukul lima sore. Sedang sibuk memenuhi cetak biru hidupnya. Dan sebagainya.

Dua lagi yang aku ingat. Di Megaria, kita pernah nongkrong bareng di sebuah bioskop untuk memelototi film Soe Hok Gie garapan Riri Reza. Di ruas jalan kawasan Tebet, bersama kawan lain, kita pernah beria-ria menghabiskan malam dengan dua teko besar berisi Marina. Marina adalah oplosan Vodka dengan Crush hijau. Marina hanyalah satu pilihan di samping Zombie, Blitz Orange, Apolonia Slink, Pletok, Valentine, dan Pink Lady. Ditemani camilan kacang goreng asin, kami merayakan keruntuhan malam.

Itu dulu. Sekarang, Fe ada di sana. Celotehnya pun terdengar samar... read more...

Mimpi Ibumu

TIDAK lama setelah kamu bilang tidak ingin mati di pagi hari, ibumu bermimpi tentang peti mati. Tiba-tiba saja, ibumu didatangi ketakutan luar biasa. Ibumu melihat seonggok peti mati di pojok kamar tidurnya. Peti itu tidak lazim. Ganjil. Ukurannya terlalu longgar. Tidak cocok buat ukuran manusia. Manusia paling besar sekalipun. Ukurannya dua kali lipat dari biasanya.

Ibumu tercengang dan jantungnya berdegup kencang saat sesuatu mengguncang-guncang peti aneh itu. Seperti ada suara gaduh di dalam peti. Ada yang kegerahan di sana. Ada yang menggeliat. Mungkin roh-roh orang mati yang menginginkan pembebasan. Pembebasan dari lorong gelap atau kubangan hitam tak bertujuan. Mereka memukul-mukul kayu mahoni itu sambil mengeluarkan desisan dan jeritan melengking.

Ibumu membeku dalam rasa takut. Dipilinnya butiran-butiran rosario diiringi komat-kamit mulutnya mengucapkan mantra suci. Kata Tuhan berkali-kali tergelincir dari bibirnya yang tergetar. Tapi, peti itu masih teronggok di pojok kamar. Tidak mau pergi. Seperti menantang dengan arogan. Setan pun tidak takut pada Tuhan. Jemari keriput ibumu terus memilin rosario itu. Berputar berkali-kali. Tidak tahu persis sudah berapakali ibumu memilin butiran kayu cendana itu dan memohon pada Ratu Para Malaikat itu. Lagi-lagi, peti mati itu tetap saja enggan tanggal. Teronggok dan menakutkan. Sampai akhirnya, ibumu terjaga dan menemukan dirinya basah oleh butiran kristal air mengembung dari pori-pori kulitnya.

Saat ibumu bergumul dengan peti brengsek dalam mimpinya, kamu pun disekap oleh kekosongan. Parasmu menegang saat kau mendengar bunyi doa pada Maria keluar dari kamar ibumu. “Ibu pasti mimpi buruk!” katamu dalam hati.

Itu hanya mimpi. Boleh saja orang menafsirkan bunga tidurnya. Orang Jawa juga memunyai kamus penafsir mimpinya sendiri. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan permainan angka dalam judi. Angka buntut. Sebuah mimpi ditafsirkan untuk disuguhkan dalam spekulasi. Aneh-aneh saja. Tapi, ini sebuah realitas di depan mata. Realitas yang dihidupi oleh orang-orang modern dengan malu-malu.

Konon, Yusuf di Mesir dikenal orang sebagai tukang tafsir mimpi. Sepotong cerita mengisahkan Raja Mesir meminta Yusuf menafsirkan mimpinya. Raja bermimpi telah melihat tujuh ekor sapi betina gemuk, tujuh ekor sapi betina kurus, dan tujuh tangkai gandum hijau ditambah tujuh tangkai lainnya yang kering. Yusuf menafsirkan itu sebagai pesan agar seluruh negeri bercocok tanam selama tujuh tahun seperti biasa, yang dituai tetaplah melekat di tangkainya, dan sedikit saja yang dimakan. Tak lama, negeri itu dikunjungi musim kemarau panjang. Tujuh tahun yang amat sukar. Lalu, kemarau diganti hujan dan warga bergembira memerah anggur.

Tapi, bagaimana dengan peti mati yang teronggok menakutkan itu? Bisa jadi, rasa letih sedang mengunjungi ibumu. Bisa jadi ada pesan terselip di bunga tidurnya. Bisa jadi itu gunung es persoalan yang belum mendapat rekonsiliasi dan membuncah dalam mimpi dini hari. Kejadian dalam mimpi pada dasarnya bukan realitas yang terjadi secara an sich. Namun, kejadian itu mampu melibatkan emosi dan indera orang yang bermimpi. Takut. Geram. Sedih. Gembira. Tak disangkal, mimpi tentang hal yang menakutkan tidak jarang menguras energi orang-orang yang mengalaminya. Was-was dan kawatir. Yang jelas, menurutku, mimpi tetaplah mimpi. Menjaga kesadaran jauh lebih penting dari memikirkan apa arti sebuah mimpi. Bagiku, hidup adalah kado istimewa bagi orang-orang sadar. Kesalahan terbesar orang-orang zaman ini adalah tidak sadar akan apa yang mereka lakukan.

Mendengar ceritamu tentang mimpi ibumu, aku mencoba mencicipi bayangan itu. Bayangan peti mati yang begemuruh di pojok kamar tidur. Aku juga bisa merasakan aroma horor mengelus bulu kuduk. Tapi, ini cuma bayangan. Santai saja, mimpi itu tidaklah abadi. Sama seperti malam yang tidak pernah abadi. Sama seperti yang pernah aku katakan padamu pada subuh hari, pagi tidak pernah merelakan malam menjadi perawan tua.

Dan peti mati itu masih teronggok di pojok ruangan. Minimal di ruang imajiner dalam batok kepalaku....
read more...

Wednesday, March 21, 2007

Si Penjaga dan Penafsir Malam

MAWAR tidak pernah abadi. Melati tak lagi mewangi. Aku hanya tak ingin mati besok pagi. Doaku malam ini. Itulah deret kata yang sengaja dilempar seoarang gadis dari Timur jauh dan membuat ponselku menjerit saat malam merambati puncak. Seseorang yang mengaku sebagai si penjaga dan penafsir malam.

Angin berhembus lewat lobang kunci. Pesawat televisi masih setia berceloteh tanpa pemirsa. Senyap dan kosong berkunjung sebagai tamu tak diundang. Jemariku segera membekap ponselku. Dalam iringan suara detak jam dinding kamar sebelah, aku membalas sapaan dari Si Penjaga dan Penafsir malam. “Malam juga tidak abadi. Malam laksana sebuah jendela. Jendela yang memampukan mata kita melihat siang, melihat senja, awan, embun, lebah, gemulai mawar, melati putih, dan sebagainya. Aku melihat parasmu mengintip dari balik jendela itu.”

Aku pernah memandangi paras itu dari balik bayang-bayang Merbabu. Sudah lama. Dua tahun silam. Paras itu samar dalam balutan debu yang menguar dari hentakan kaki-kaki bocah yang memainkan warok asal Dusun Dayoga. Paras yang terpana saat memandang mahkluk-mahkluk hijau penunggu merapi berjingkrak mengelilingi pohon randu besar yang pucuknya menembus langit biru. Paras yang beku, terpaku, saat Nyanyian Kepundhan dikidungkan oleh barisan jubah putih. Sebuah nyanyian kehidupan dari lereng lima gunung yang berharap damai, keadilan, sudi diturunkan dari Kerajaan Langit. Paras itu tampil dengan keluguannya saat memandangi langit-langit kamar di mana cicak sedang enggan berburu mangsa. Paras yang bercahaya saat subuh mulai menaungi kota Muntilan berserta seluruh isinya. Ya, paras, paras yang kupandangi dua tahun silam.

Aku kembali meraih ponselku. Lama menunggu jawaban. Kutulis lagi selarik kata. “Ada bola raksasa menyala dan menari-nari di hatiku saat malam sudah pekat dan pori-pori bumi siap berkeringat embun pagi. Aku melihat Cinta terpantik oleh angin timur yang menyusup membawa dingin. Beku.” Selarik huruf digital itu pun segera kuterbangkan ke langit-langit. Biarlah peri-peri malam membawanya jauh ke Timur. Lama jawaban tidak kunjung jua. Kutulis selarik lagi. “Dan Cinta itu berubah wujud menjadi kupu-kupu. Sudah ribuan kali aku berusaha memungut kedua sayapnya. Tapi, ia selalu lepas. Terbang. Menebar pesona dan menggoda. Dan malam mengajariku satu kebajikan: Cinta bukan perkara memiliki. Cinta itu membiarkan kupu-kupu itu pergi sesuka hati. Lepas. Bebas kemana ia maui. Aku pun ingin menjadi kupu-kupu.”

Satu jam berlalu. Malam pun larut dalam dingin. Peri-peri langit itu telah kembali dan membawa selarik kata dari Si Penjaga dan Penafsir malam. “Pagi yakin tidak ada yang bosan pada kabut dan udara segarnya. Malam tidak takut kehilangan pengagumnya, para penerjemah inspirasi di kegelapan dan kesunyian. Mereka adalah sang indah yang angkuh.”

Pukul dua kurang dua menit. Pagi. Gelap dan hitam. Kembali kutulis selarik kata. Kuharap dia masih berjaga meskipun bunga-bunga tidur terserak di berbagai sudut Yogyakarta dan seluruh lorong-lorongnya. Tak peduli apakah Merapi batuk-batuk atau perut bumi tiba-tiba menggeliat. Tidur ya tidur, sebuah kepasrahan total pada Penguasa malam. “Desau angin juga tak pernah lupa pada pucuk cemara. Pagi pun tidak rela membiarkan malam menjadi perawan tua. Cinta berubah menjadi air yang merembes pelan di spon hati yang terbekap malam. Malam pun berubah menjadi butiran mantra agar kupu-kupu itu sudi singgah di kelopak jiwanya. Meski cuma untuk sementara.” Satu larik terakhir yang kukirim ke kampung halaman.

Aku pun berdoa agar kamu tidak mati pada esok pagi. Buat sahabatku, Aurelia Claresta.... read more...

Sunday, March 04, 2007

Bulan Raksasa

PERASAAN itu datang lagi. Dini hari. Aku terjaga dari bunga tidurku. Aku merindukan bulan. Bulan purnama. Tapi, bukan bulan yang selama 30 tahun ini aku lihat. Bukan bulan yang biasa aku lihat di atas loteng. Bukan bulan yang menggantung di langit hitam di pojok lapangan depan rumahku. Bukan bulan yang berkejaran di balik gedung-gedung jangkung saat motorku melintas Jalan Sudirman atau Thamrin. Bukan pula bulan yang berada di dalam kubangan sisa hujan di jalan beraspal. Bukan!

Aku merindukan bulan raksasa. Raksasa. Bulan raksasa yang mengembara di langit bersih. Bukan bulan biasa yang nampak sebesar bola voli. Tapi, bulan raksasa yang terbang rendah di balik hutan cemara pada musim semi. Ingin kupandanginya sepanjang malam tanpa kedipan. Ingin kucecap lekak-lekuk wajah tembaganya. Ingin menemaninya melintasi hutan cemara, punggung-punggung bukit, pucuk-pucuk gunung bersalju, rimba gandum yang masih hijau, dan amblas di balik padang bebatuan penuh debu. Bila saat itu tiba, aku tidak mau tidur. Aku mau berjaga. Aku mau menulis cerita.

“Kapan aku bisa menemukan bulan itu?”
“Dua tahun lagi, kamu pasti akan menemukannya!”
“Dua tahun lagi?”
“Iya, dua tahun lagi. Kamu pasti menemukannya. Aku dan kamu akan berada di sebuah gubug kecil saat bulan raksasa itu muncul dari pucuk-pucuk cemara.”
“Kamu yakin, kita bisa melihatnya?”
“Kamu meragukanku? Instingku mengatakan itu. Masihkah kamu tidak percaya? Coba ingat saat kita menghadiri arisan di lereng bukit Cimanggis, di rumah saudaramu? Sebelum arisan dikocok, aku berbisik padamu: hari ini, hari keberuntunganmu. Kamu akan dapat arisan. Dan apa yang terjadi? Kamu dapat arisan itu.”
“Aku juga merasakan yang sama. Dua tahun lagi. Dan cerita-ceritakulah yang menerbangkan aku dan kamu ke lembah Eden itu.”
“Indira mau diajak?”

Aku melempar senyum kecil pada istriku. Dibalas dengan senyum genit dari bibirnya. Aku melongok ke arah luar jendela. Langit masih kosong. Hitam. Lengang. read more...

Thursday, March 01, 2007

Awalan Cerpen-cerpen Itu

Ada Ular di Kepalaku
ADA yang bergerak-gerak di kepalaku pagi ini. Tepatnya, setelah kuterima pesan pendek dari Savitri kekasihku yang mengatakan pembatalan rencana pernikahan kami. Kepalaku terasa nyeri. Gatal sekali. Tapi, aku tidak bisa menggaruknya karena rasa gatal itu ada di dalam batok kepala. Rasanya ada mahkluk kecil yang menggeliat kegirangan di dalam otakku. Ia bergerak. Dan setiap mahkluk itu bergerak, rasa nyeri tak tertahankan menggerayangi seluruh kepalaku. Ia terus menggeliat. Ia seperti ular dan aku yakin itu ular. Menelusup ke sana ke mari di dalam rongga kepalaku. Aku meronta kesakitan.

Semanggi
KERETAKU mulai bertolak dari Stasiun Purwokerto. Riuh para penjaja lanting, nopia, nasi bungkus, donat, kopi hangat, pop mie, dan sebagainya mulai meluruh. Meninggalkan aroma khas sebuah gerbong kelas bisnis berpenumpang 64 orang itu. Sisa pengemis buta masih nampak di ujung gerbong. Kemudian hilang ditelan gerbong depan. Gemuruh roda-roda kereta makin kencang. Suara gaduh gesekan antarbesi itu semakin menjadi. Dari balik jendela kaca yang sudah kusam, tampak lampu-lampu yang menggantung di tiang besi dan rumah-rumah di pinggiran rel tampak berlarian ke belakang. Semakin cepat. Angin pagi kembali menelusup membawa dingin.

Bakpao
LELAKI paruh baya itu masih tekun mengelus-elus sepeda motornya dengan kain tipis di halaman depan rumah. Hari ini ia libur tidak narik ojek lagi. Meski tidak ada aturan resmi hari libur tukang ojek, lelaki itu tidak mau kalah dengan orang kantoran. Perolehan tukang ojek tidak seberapa, tapi ia tidak mau memaksa diri terus ngotot bekerja. Setiap hari minggu, ia meluangkan waktu bersama istri yang baru ia nikahi empat bulan silam. Matahari siang mulai merangkak tepat di atas ubun-ubun. Angin siang yang malu-malu bertiup membuat udara seantero rumah menjadi gerah. Sementara, pohon-pohon akasia di kanan-kiri rumah bertembok batu-bata tanpa semen itu sudah lama meranggas, menambah panas suasana. Seorang perempuan tua dengan daster merah menghampiri.

Burung Malam
MATAKU masih menatap langit-langit kamar. Langit-langit yang kotor oleh bercak air hujan seminggu lalu. Sudah larut malam dan aku tak kunjung tidur. Istriku sudah amblas ditelan selimut tebal dengan desis lembut keluar dari mulutnya. Sementara, kedua anakku, Galang dan Siwi, sudah tertidur pulas di kamar sebelah. Aku tidak bisa tidur. Hatiku terasa gundah setiap waktu memuncak pukul 12 malam. Rasanya aku terserang insomnia akut. Insomnia yang muncul lantaran ketakutan kalau-kalau burung malam itu bertengger lagi di atas atap rumah dan menjerit pada saat pergantian hari. Aku memikirkan burung itu.

Soliter Kematian
AKU lunglai dan tidak berdaya di depan komputerku. Kamarku tiba-tiba seakan disekap oleh kesunyian yang dalam. Senyap laksana kuburan. Aroma kematian menusuk hidung dan berkecamuk di dadaku. Sesekali kulihat jam yang terpaku di dinding. Waktu begitu cepat. Seolah lepas kendali dari jalur biasanya. Detak-detak bunyi jam itu seperti derap langkah pasukan iblis lengkap dengan panji-panji kematian. Semakin lama, derap langkap itu semakin cepat dan keras, menggetarkan langit-langit hatiku.

Surat Buat Sakura
AWAL April ini aku masih berada di Tokyo. Aku sengaja duduk-duduk di taman kota dan menulis surat. Langit kota cukup bersih. Angin sore mengayun-ayun ranting pohon Sakura sehingga bunga-bunga warna merah jambu itu berterbangan. Bunga ini bertebaran di mana-mana, mulai taman-taman kota, halaman kuil, hingga kanan-kiri jalan. Beberapa bunga jatuh terkulai lemas di atas kertas suratku. Siluet sore terbentuk saat sinar matahari Barat menerpa kuil-kuil kuno Jepang, tak jauh dari tempatku. Jepang baru saja mengalami pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi. Inilah semi di Negeri Matahari Terbit yang amat memesona.

Lonceng Gereja
LONCENG Gereja itu kembali berbunyi tepat pukul 12 siang. Menggema dan mengguncang dinding-dinding langit. Membuyarkan burung-burung gereja yang lagi enak-enak beristirahat dan memaksa mereka terbang dan hinggap di pepohonan. Lolong anjing menjerit keras melesat ke langit-langit seakan ingin turut berdoa bersama dengan rombongan biarawati yang mendaraskan Doa Malaikat Tuhan di sebuah kapel. Denting lonceng untuk sebagian orang menjadi jeda untuk paling tidak ingat pada Tuhan mereka. Ia mengingatkan orang untuk berpaling sejenak pada realitas tertinggi setelah sepanjang pagi sampai siang dibekap dan dibelenggu oleh kesibukan dan rutinitas.

Tapi, lain cerita dengan diriku. Setiap lonceng gereja itu berdentang, setan-setan neraka seolah meloncat kegirangan dan masuk ke dalam diriku. Ia menguncang-guncang diriku. Menyuntikan cairan amarah ke dalam nadi-nadiku. Memerahkan dan mengubah wajahku penuh dengan muram durja. Mengencangkan otot-ototku dan membujukku untuk segera membunuh pastor jahanam itu. Setiap bunyi dentang membuat napasku tersengal. Paru-paruku sesak dan ingin kulepaskan bersamaan pisau belati ini ke dada pastor brengsek itu. read more...