STASIUN Kota Goela suatu hari. Masih sepi. Seorang gembel rambut gondrong dan berbaju kumal tidur-tidur ayam di sebuah bangku yang teronggok di sudut stasiun. Sementara seorang pelukis mengayun-ayunkan kuasnya di atas spanduk yang terlentang di lantai. Tak lama, stasiun kembali riuh. Segerombolan orang dengan kostum hitam datang dan duduk bebas di bangku. Mereka tertawa. Mereka mengoceh. Mereka tersenyum. Kepala mereka sesekali bergerak kekiri dan kekanan melihat kereta lewat. Lalu, rombongan walikota datang dan meramaikan stasiun. Seorang penjaga stasiun hilir mudik meniup peluit dan daun-daun kering terhambur oleh angin yang terhempas dari gerbong kereta yang melintas. Mereka sedang menunggu kedatangan seseorang perempuan tua yang menjadi taipan kaya raya. Mereka seolah menunggu ‘Ratu Adil’ yang akan menyelamatkan Kota Goela dari keterpurukan ekonomi. Goela, sebuah kota yang bangkrut berlarut-larut. Perempuan itu tak lain adalah nona Klara Zakanasian.
Itulah adegan pembuka dari lakon “Kunjungan Cinta” yang dimainkan oleh Teater Koma. Kunjungan Cinta merupakan produksi Teater Koma ke-111 yang digelar dalam rangka ulang tahun Teater Koma ke-30. Nah, ini adalah malam pertama ketika aku nonton teater bersama istriku. Sebelumnya, aku nonton rame-rame bersama para sahabat. Untungnya, justru istriku yang ngebet banget menonton lakon garapan sutradara Nano Riantiarno itu. Akunya, dia menjadi fans berat Teater Koma. Dia sudah menonton beberapa lakon, seperti Opera Kecoak, Maaf-Maaf-Maaf, Tanda Cinta, dan Sampek Engtay. Yah, sebuah kenikmatan tersendiri nonton bareng istri yang juga doyan seni.
Kereta yang membawa Klara Zakanasian (Ratna Riantiarno) tiba. Spanduk selamat datang dibentangkan. Membelakangi panggung yang ditata dengan gaya realis. Sebuah hotel mewah, stasiun kota, dan rumah penjual kelontong. Paduan Suara Kota Goela menyanyikan lagu “Selamat Datang.” Walikota (Budi Ros) menyambut hangat. Tak ketinggalan Ilak Alipredi (Butet Kartaredjasa), seorang pemilik toko kelontong dan calon walikota masa mendatang. Ilak Alipredi didaulat untuk membujuk Klara agar sudi menolong perekonomian Kota Goela yang seperti ikan sekarat tergelepar di pasir pantai dihunjam panas matahari. Tidak ada pekerjaan bagi orang-orang Goela selain menonton kereta lewat di stasiun.
Dalam sebuah pertemuan dengan warga, Klara mau menghibahkan uang Rp 1 triliun untuk membangun Goela. Kedermawanan yang disambut baik oleh walikota dan seluruh warga. Namun, Klara meminta satu syarat, yakni Ilak Alipredi harus dibunuh. Klara membuka tabir aib tentang Ilak Alipredi 45 tahun silam. Klara dan Alipredi adalah sepasang kekasih pada waktu itu. Namanya orang muda sering ‘sembrono’ dan akibat kesembronoan itu hamillah Klara. Tapi, Alipredi tidak mau bertanggung jawab. Ia malah mengawini anak gadis pedagang kaya, Matilda Blumar (Sari Madjid). Alipredi sempat dibawa ke pengadilan, tapi bisa lolos karena keterangan dua saksi palsu. Klara sempat terlunta-lunta dan menjadi pelacur sampai seorang lelaki kaya raya mengawininya. Klara berubah nasib. Ia mau membalas dendam. Dua saksi ini dibuat buta dan dikebiri oleh Klara dan dijadikan abdi setianya.
Tawaran nona Klara cukup mengagetkan. Membawa pergulatan besar bagi orang-orang Goela yang menjuluki diri sebagai kota yang bermartabat. Pada titik inilah, Klara bermain. Perempuan flamboyan yang suka gonta-ganti suami ini mulai memutar uang. Lagi-lagi, uang digunakan untuk menjebol benteng moral dan idealisme. Akhirnya, uang pun menang. Seorang yang disebut Guru (Supartono JW) mengeluhkan, “Godaan ini terlalu besar, kemiskinan terlampau getir.” Kemiskinan yang sangat getir membutakan nurani untuk merengkuh materi. Tak lama, warna suram Kota Goela diubah ceria. Orang-orang yang dulu berpakaian lusuh, berganti pakaian pakaian mode luar negeri, motif warna-warni, dan terkesan parlente yang dipaksakan. Anggur-anggur lokal dan sigaret ala kampung pun diganti dengan botol-botol wine dan sigaret bertaraf internasional dan berharga mahal.
Semua orang dibuat ‘buta’ oleh materi. Tidak hanya masyarakat bawah, tetapi juga walikota, pendeta, dan guru sekalipun. Semua disimbolkan dengan mengubah sepatu-sepatu mereka yang usang dengan sepatu-sepatu warna kuning. Kegemerlapan hidup ini justru menusuk hati Ilak Alipredi. Semua perubahan tadi adalah tanda semakin dekat hari kematiannya. Akhirnya, dalam kelemahan jiwa orang-orang Goela dalam menentang godaan itu, Ilak Alipredi akhirnya mati. Tepatnya, dimatikan.
Seperti biasa, Teater Koma tampil dengan joke-joke bernada satir, kritik sosial, maupun parodi yang sarat dengan pesan moral. Meski demikian, tampak humor sedikit dikurangi bila dibandingkan dengan penampilan sebelumnya. Selain itu, tata panggung juga digarap dengan sangat serius. Termasuk, daun-daun kering yang diseting berhamburan ke kanan atau ke kiri ketika kereta melintas. Ditambah dengan efek suara dan cahaya yang membawa penonton seolah ada benar-benar di tempat kejadian.
Kunjungan Cinta adalah saduran dari naskah asli karya Friedrich Durrenmatt (1921-1990). Lelaki kelahiran Konolfingen, Swiss, 5 Januari 1921 ini menulis banyak cerita pendek, novel, maupun drama. Beberapa karyanya telah mendapat penghargaan.
Asik deh, pokoknya. Menonton Kunjungan Cinta dengan harga weekend Rp100 ribu tidak membuat hati menyesal. Puas. Sebuah kata yang tepat. Selamat ulang tahun buat Teater Koma! [Keterangan: Gambar di atas merupakan karikatur wajah Durrenmatt, si pemilik asli naskah]
read more...
Tuesday, January 23, 2007
Mengunjungi "Kunjungan Cinta"
Sunday, January 21, 2007
Malam Insomnia Beraroma Jeruk Nipis
MALAM-malam insomnia. Itulah yang sering kutunggu. Sekarang, ia hadir dengan jubah kensenyapannya. Mencintai insomnia? Duh, sebuah hal aneh. Tidak lumrah. Banyak orang kota mengeluh jika insomnia datang dan merorong isi kepala mereka. Insomnia telah membuat kepala mereka seperti bongkahan es beku. Dingin. Kaku. Bikin linu dari kulit ari hingga sumsum tulang. Mata tidak mau terpejam. Seakan ada bongkahan kayu yang dipaku melintang di matanya. Malam pun menjadi beban meletihkan. Lebih-lebih jika ia datang dan merangsek ke ulu hati. Mencacah-cacah rasa. Merica-rica asa. Kemudian ke otak. Seakan-akan, seekor ular masuk ke batok kepala mereka tanpa diundang. Menggeliat. Mencecap habis bubur otaknya. Menimbulkan sakit bukan kepalang. Insomnia bak malaikat neraka yang mengantar pesan bahwa esok tidak akan ada. Matahari tidak akan bangkit dari tidurnya. Kiamat. Yeaah, orang-orang yang malang. Namun, kukatakan pada angin malam yang berhembus lembut dari kisi-kisi jendela kamarku, aku mencintai insomnia.
Sekali lagi aku mencintai insomnia. Sejak bola raksasa lenyap di perut bumi, aku sudah bersiap menjemputnya. Bak seorang bapak yang duduk di emperan rumah ditemani cerutu cokelat menunggu kembalinya anak bungsu dari perantauan. Malam insomnia adalah malam di mana kepalaku lagi dihujani ide-ide. Ia datang dan membuatku berputar bagai gasing. Berlanjut memantik api pikiranku untuk menelusup di berbagai labirin-labirin pemahamanku akan realitas. Pada saat inilah, malam berubah menjadi siang. Semua tampak jelas, kentara, logis, dan indah. Matahari seolah muncul lagi dan masuk ke dalam batok kepalaku. Ia menerangi jalan-jalan yang sudah aku lalui. Pada momen inilah, syaraf-syaraf motorikku bergetar. Menggelinjang seperti sepasang kekasih tenggelam di balik ranjang. Dan tumpahlah hasil ‘orgasme budi’ itu dalam bentuk tulisan. Entah di secarik kertas atau di layar laptopku.
Pada malam insomnia sekarang ini, aku ditemani secangkir nutrisari hangat dengan aroma jeruk nipis. Selain rasanya, aku juga menyukai warnanya yang hijau kekuningan. Menyegarkan. Menyejukkan. Mencerahkan. Tradisi menyeruput nutrisari jeruk nipis ini pernah aku lakukan enam tahun silam. Dulu, di asrama, tiap sore sehabis jogging. Segelas besar nutrisari jeruk nipis yang bergolak dengan potongan kecil es batu menjadi minuman favorit sambil melepas lelah, meluruskan otot-otot kaki, sambil menyaksikan detik-detik matahari tenggelam di kaki langit pada sebuah loteng asrama. Duh, sungguh dahsyat! Surga itu dekat, ternyata. Setelah memanjakan kerongkongan dengan cairan ajaib itu dan sesudah mandi sore, adalah saat tepat untuk belajar. Semua menjadi terang-benderang seterang lampu duduk di mejaku. Buku-buku berubah seperti kue-kue yang renyah dimakan. Dan belajar petang menjadi ritual yang menyenangkan.
Itulah malam insomnia. Malam yang kunanti. Malam yang kucintai. Pada saat itulah, ide-ide segar meloncat dan menari-nari di dalam kepala. Mendorong hasrat untuk segera menumpahkannya pada secarik kertas atau layar laptopku. Malam insomnia beraroma jeruk nipis...
read more...
Monday, January 15, 2007
Tips Menulis Ala AS Laksana
RAMBUTNYA gondrong. Badannya sedikit jangkung. Aku sering melihat tubuhnya yang tirus dibalut kemeja yang dimasukkan kedalam celana jeansnya. Tas ransel selalu di punggung. Ia suka berlenggang kangkung di depanku, tanpa jeda untuk sebuah obrolan berarti. Dialah AS Laksana yang sering dipanggil dengan Mas Sulak. Aku mengenal Mas Sulak dari antologi cerpennya berjudul “Bidadari yang Mengembara” terbitan Kata Kita. Sebuah kumpulan cerpen yang begitu dahsyat. “Bidadari yang Mengembara” menjadi buku sastra terbaik tahun 2004 versi Majalah Tempo. Namun, nasib memang tidak bisa ditebak. Semenjak tiga bulan lalu, aku satu kantor dengannya di Tabloid Investigasi. Mas Sulak menjadi redaktur senior dan pengisi kolom Oase, semacam Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad. Tapi, sayang, dua minggu ini, aku tidak pernah melihat sosoknya di redaksi. Mungkin lagi mengembara. Mungkin juga sudah jadi kupu-kupu. Ah, gak tahulah, yang jelas dia seorang penulis hebat.
Di dalam bukunya yang lain berjudul “Creative Writing, Tips dan Strategi Menulis untuk Cerpen dan Novel” (Media Kita, 2006), Mas Sulak berbagi keterampilan menulis. Buku ini berisi bahan-bahannya mengajar di sekolah penulisan Jakarta School. Nah, ada beberapa poin yang bisa dijadikan pijakan mencerahkan untuk menjadi seorang penulis.
1. Rahasia kreativitas adalah mendekatkan tangan dengan otak. Tony Buzan menegaskan, segala sesuatu adalah soal pikiran. Jika kita betul-betul ingin menulis, beri tangan kita pena. Biarkan tangan itu menjalin kerjasama dengan otak. Tetaplah menulis. Albert Einstein pernah mengatakan, apa yang ditulis oleh tangan kita adalah langkah pertama yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala kita.
2. Segeralah Menulis! William Blake (1757-1827), penyair klasik Inggris, mengatakan hasrat semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit. Mau jadi penulis, ya menulislah. Menulislah dalam keadaan apa pun. Tanpa ide pun orang bisa menulis. Yang tidak bisa adalah menulis tanpa kemauan. Menulis apa saja akan memancing datangnya ide. Jangan berhenti menulis lantaran tidak mood, sedang stres, sedih, tertekan. Sama saja dengan seorang bankir atau polisi, meski dirinya lagi sedih, ia tidak boleh melalaikan tugasnya. Demikian juga seorang penulis.
3. Menulis Buruk. Jangan terpaku untuk segera menghasilkan tulisan yang baik. Menulis apa saja tanpa takut jelek. Jangan biarkan kertas kita tetap kosong hanya karena memikirkan bagaimana menulis yang baik. Tulisan buruk jauh lebih baik ketimbang tulisan yang sempurna yang tidak pernah ada. Jangan bengong. Menulislah buruk kemudian editlah. Ingat, kita tidak pernah bisa mengedit tulisan yang tidak pernah ada. “Orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, biasanya tidak melakukan apa-apa,” kata Edward John Phelps (1822-1900).
4. Menulis Cepat. Menulislah dengan cepat. Jangan biarkan diri kita dikuasai mood. Mood dan tidak mood adalah perkara pikiran. Singkirkan jauh-jauh. Menulis itu seperti orang bercakap-cakap. Jika kita merasa waktu teralu sempit untuk menulis, menulislah secepat-cepatnya. Isaac Asimov mengaku, “Saya menjadi produktif, saya rasa, karena saya menulis secara simpel dan apa adanya.” Penulis cepat adalah penulis yang baik. Penulis baik adalah penulis cepat. Ingat, kecakapan senantiasa berdampingan dengan kecepatan pengerjaan. Jangan terpaku dengan kata-kata dan gaya penulis-penulis besar. Tulislah cepat dengan gaya dan apa adanya diri kita. Ernerst Hemingway (1899-1961) mengatakan, “Apakah ia pikir kekuatan emosi lahir karena kata-kata besar?...ada kata-kata yang simpel, lebih baik, dan lebih lazim. Itulah yang kugunakan.” Menulislah cepat tanpa meyensor diri. Jangan berhenti hanya karena draft pertama.
5. Strategi tiga kata. Alat bantu menulis cepat adalah strategi tiga kata. Kita memerlukan tiga kata untuk membuat tulisan mengalir cepat. Gunakan tiga kata itu untuk menyusun paragraf. Gunakan salah satu kata untuk mengawali tulisan. Tiga kata itu akan merangsang otak melakukan keajaiban, yakni berasosiasi.
6. Jangan Menulis Sekaligus Mengedit. Jangan mengerjakan dua pekerjaan besar secara bersamaan, yakni menuangkan gagasan dalam tulisan dan mengedit. Kita sering terjebak untuk menulis sekaligus mengedit saat itu juga. Kita tidak sabar menghasilkan tulisan yang bagus. Akibatnya, kita sering mengapus tulisan kita, berhenti lama, dan tidak kunjung menulis.
7. Show, Don’t Tell. Untuk menggambarkan situasi dan kondisi, kita sebaiknya melakukan deskripsi sejelas-jelasnya agar pembaca sendiri tahu, kapan seorang lagi marah, berwajah cantik, sopan, dan sebagainya. Jangan katakan kepada pembaca kalau tokoh kita lagi marah, tapi gambarkanlah.
8. Konkretkan Konsep-konsep Abstrak. Gambarkan dengan jelas konsep-konsep abstrak seperti cinta, panas, pengap, dan sebagainya. Kreatiflah dalam menggambarkan itu semua agar tidak jatuh pada penggambaran yang itu-itu saja.
9. Deskripsi dengan Lima Indra. Deskripsi yang baik membuat cerita “hidup” di benak pembaca. Buatlah pembaca mampu melihat sesuatu, mencium baunya, merasakan persentuhannya, mendengar bunyinya, dan mencecap rasanya. Tulisan kita akan benar-benar hidup.
[bersambung dengan topik membuat karakter, plot, dialog, dan sebagainya]
read more...
Friday, January 12, 2007
Lelaki Tua dan Seekor Kucing
ENAM hari saat hujan lupa mengguyur Jakarta. Enam kali juga aku melihat sosok lelaki tua bermain dengan seekor kucing itu. Pemandangan ini setiap pagi terulang. Di pojok jalan, tepatnya di perempatan lampu merah Jalan Panjang-Pos Pengumben, Jakarta Barat, duduk seorang lelaki tua di sebuah cor-coran beton yang diperuntukkan sebagai pot bunga. Lelaki berbadan tirus, beruban, dan bersandal jepit abu-abu itu senantiasa sumringah sambil bermain-main dengan seekor kucing. Dan kucing itu tampak senang juga. Sesekali mundur menghindari sergapan tangan Si Tua, sesekali memasang kuda-kuda siap menerkam tangan keriput itu, sesekali mendekat dan mencakar-cakar manja jemari lelaki tua itu. Mulut lelaki itu mengembang, sebuah bunga senyuman yang jarang mekar di bibir orang-orang ibukota.
Sebotol aqua terisi setengah air dan tas plastik hitam tergolek dekat perdu, tempat si kucing menyembunyikan diri dari 'serangan' tangan lelaki tua itu. Duh, sebuah pemandangan yang menyenangkan. Dua mahkluk yang bermain-main. Laksana seorang ayah dan anaknya saja. Memang, kemacetan tidak selalu membuat hati gerah segerah udara akibat kepulan asap knalpot kendaraan yang berjejal di depan lampu merah. Tentunya, semua itu tergantung dari diriku sendiri. Banyak kehidupan yang menarik di jalanan. Salah satunya adalah lelaki tua dan seekor kucing itu.
Aku tidak bisa menerka dengan pasti apa yang ada di dalam benak lelaki tua itu. Mungkin ia lagi menghabiskan setiap pagi saat cahaya matahari masih ramah-ramahnya. Mungkin ia sedang menunggu seseorang, jemputan, atau yang lain. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari rutinitas hariannya. Mungkin itu satu-satunya kegiatan favoritnya dan kucing itu adalah harta satu-satunya yang ia punyai. Mungkin ia dan kucing itu sudah janjian untuk rendesvouz setiap pagi menjelang. Mungkin mereka berdua belum lama berkenalan atau mereka justru sahabat lama yang belum lama ketemu. Ah, aku tidak tahu persis. Aku tidak tahu siapa lelaki tua itu. Aku juga tidak tahu siapa kucing berbulu coklat itu. Termasuk asal-usulnya. Mungkin, suatu saat, aku perlu bergabung dengan mereka.
Yang jelas, keriangan wajah dua mahkluk menyiratkan satu pesan: kebahagiaan itu murah!
read more...
Monday, January 01, 2007
Natal, Potter, & Sepotong Romantisme
TAHU gak? Malam-malam seputar Natal 2006, bersama istri dan kakak perempuanku, aku menonton tiga seri film Harry Potter. Tiga seri itu, antara lain Harry Potter and the Sorcerer's Stone, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, dan Harry Potter and the Goblet of Fire. Kisah-kisah ajaib, seru, apik, seakan membawa kesadaranku pada dunia dongeng. Tidak kalah juga dengan versi novelnya. Meski film-film ini sudah pernah ditonton tahun lalu, tapi decak kagum tidak pernah hengkang dilontarkan pada buah karya penulis JK Rowling ini.
Di antara gelombang kekaguman itu, bagian-bagian dari narasi film itu menggugah kesadaran akan pengalaman masa lampau. Sekolah penyihir Hogwarts yang terbagi dalam asrama, Gryffindor, Ravenclaw, Slytherin, membawaku pada romantisme saat hidup bersama di asrama seminari dulu. Di sana, 14 tahun lalu, aku juga hidup dalam seminari yang terbagi berbagai asrama. Ada Medan Pratama, Medan Madya, Medan Utama. Demikian juga saat dua tahun hidup di Novisiat St. Stanislaus Kotska. Duh, sebuah perjalanan hidup nyantrik layaknya para santri yang lagi mengolah diri di kawah candradimuka, seperti di dunia pewayangan.
Selain itu, kegiatan belajar dan perpustakaan di Hogwarts, juga menjadi kegiatan keseharian kami. Sosok tiga sahabat, Potter, Ron Weasly, dan Hermione Granger, mengingatkanku juga pada sosok-sosok sahabat dekat di asrama. Belajar bareng, jalan-jalan bareng, makan bareng, dan mencuri pepaya bareng. Wuah, sebuah romatisme yang menyenangkan kalau diingat. Di depan televisiku, aku merasa tiba-tiba ada yang hilang dalam hidupku. Khususnya, hidup di Jakarta ini, setelah keluar asrama, bekerja sebagai wartawan, dan menikah. Yang hilang itu tak lain adalah suasana belajar. Aku merindukan saat-saat belajar bersama di kelas atau menyendiri di ruang perpustakaan setelah mandi di sebuah senja. Duduk, diam di depan tumpukan buku-buku tebal. Sesekali menulis. Uh, jadi ingat resep yang aku tiru dari Profesor filsafat, Franz-Magnis Suseno SJ yang memberiku matakuliah metodologi belajar selama satu semester. Ia seperti Profesor Albus Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts. Ia mengajari bagaimana membaca yang baik, membuat rangkuman, menangkap inti tulisan, mempersiapkan ujian, dan sebagainya. Selain itu, sosoknya yang aku jumpai, kala itu, di asrama membuatku terinspirasi memilih kapan waktu belajar yang paling tepat. Jawabannya, senja hari setelah menghabiskan sore dengan jogging dan minum nutrisari dingin dengan aroma jeruk nipis. Dijamin, suasana belajar akan sangat intensif.
Persaingan dan iri hari mewarnai kehidupan asrama. Persis juga yang dialami gengnya Potter dengan Draco Malfoy. Termasuk persaingan antarasrama, baik yang sehat atau tidak. Pertandingan Quidditch mengingatkanku pada pertandingan bola antarasrama. Di Mertoyudan dan Girisonta, kami memunyai lapangan bola dengan ukuran kecil. Tidak standar. Tapi, lumayan buat olahraga dan melepaskan kejenuhan belajar. Kericuhan Quidditch juga kami alami. Bahkan, tawuran antarasrama. Pokoknya, masing-masing asrama merasa menang sendiri.
Sosok-sosok hantu bergantayangan layaknya para Dementor yang menjaga Penjara Azkaban mengingatkan pada mitos tak berdasar tentang Suster Kesot. Hantu suster tanpa wajah yang suka menganggu bila para seminaris berjalan sendirian di gang. Delapan tahun hidup di asrama, suster tak berwajah itu pun tak jua aku jumpai. Sosok Dementor ini justru terwujud pada para pamong-pamong kami yang suka 'bergantayangan' saat jam-jam belajar. Seminaris yang ketahuan tidak belajar pada jam-jam belajar akan dikena semprot dan dihukum. Wajah-wajah dementor itu sering melayang-layang dari balik jendela kubikel, tempat kami belajar.
Suasana jamuan makan dengan bangku panjang dan para siswa Hogwarts berderet rapi dan riuh menyantap hidangan, mengingatkanku pada refter, ruang makan dengan meja panjang berisi 8 orang. Refter ini terisi puluhan meja makan. Jadi, ingat ketika kita tidak bisa kehusyuk berdoa makan karena bersiap-siap rebutan daging babi, menu favorit di hari libur. Dasar, anak-anak asrama!
Petualangan Potter, Hermione, dan Ron saat memasuki lorong-lorong sekolah, berbekal dengan senter, mengingatkanku akan pengalaman jaga malam giliran di Girisonta. Tugas jaga dilaksanakan oleh dua novis. Tidur di ruang rekreasi. Bangun setiap pukul 2 pagi. Berjalan, lengkap dengan senter dan sarung. Menyusuri lapangan yang gelap gulita, makam para pastor Jesuit, berjumpa dengan Pak Senen-pegawai asrama yang suka menyapu kebun pada malam hari dan menimbulkan suara mengerikan bagi yang tidak mengenalnya. Pertualangan jaga malam biasa diakhiri di kamar makan untuk sekadar makan menu sisa, menghabiskan pisang, atau mencuri keju dan beef milik pastor-pastor bule.
Sementara itu, kita juga memunyai mantra-mantra sihir. Di dunia Harry Potter, ada Wingardium Leviosa (mantra pengangkat benda), Alahomora (mantra membuka pintu terkunci), Lumos (menyalakan lampu), Petrificus Totalus (mantra pengikat kaki dan tangan), Obliviate (mantra penghapus memori), Riddikulus (mantra pengubah wujud), atau Expecto Patronum (mantra mengundang sosok pelindung). Nah, kami juga memunyai mantra-mantra itu. Tapi, bukan untuk menyihir, melainkan memberi semangat kami dalam belajar dan hidup. Misalnya, Age quod Agis (berusaha mati-matian), Non Scholae sed Vitae Discimus (kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup), Amor Tui (cinta padamu), discreta caritas (pertimbangan penuh cinta), dan semacamnya. Semua ditulis dengan bahasa Latin. Asyik, kan!
Yah, tak salah aku puter film Harry Potter. Yang jelas, perpustakaan pribadiku setia menungguku untuk aku 'gauli' setiap senja tiba. Lah, bukannya 2007 adalah tahun menulis buku? Pokoke, lawan hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Nah, aku mengamini kata-kata Simone de Beauvoir ini...
read more...
2007: Tahun Menulis Buku
SEGALA sesuatu mengalir. Demikian kata Herakleitos dengan pantha rei-nya. Tahun 2006 sudah 10 jam berlalu. Berlalu bersama senyapnya bunyi-bunyi anekaragam petasan, bisingnya bunyi terompet, gaduhnya orang-orang di jalanan, dan kepulan asap ikan guramai dan jagung yang terbakar. Sebuah ritus populer yang hampir sama terjadi tiap malam pergantian tahun.
Malam itu, sehabis menonton film Munich, aku sempat terdiam di depan televisi. Rumah Kebon Jeruk sepi. Istriku sudah sibuk nglembur di pusat belanja milik orang Prancis, Carrefour, sejak pukul 8 malam. Sepasang cicak berlarian dan lenyap di balik jam dinding. Mungkin, mereka lagi birahi dan mau memuntahkannya di malam pergantian tahun. "Aku merasa belum mempersembahkan bagi hidupku sendiri yang membuat diriku, menurut peniliaian diriku sendiri, bermutu," demikian suara dalam batinku.
Hidupku di tahun 2006 penuh dengan tawa, luka, tragedi, dan mimpi-mimpi. Namun, kalau aku mau jujur dengan diriku sendiri, tahun 2006 adalah tahun penuh kegagalan. Ada beberapa komitmen yang gagal aku penuhi. Aku sendiri malu. Tahun 2006, adalah tahun di mana aku juga mulai mengambil jarak dengan Gereja Katolik. Sungguh, aku tidak lagi memandang keterpesonaan dalam agama yang sejak SD aku anut secara resmi. Bahkan, sekarang ini serasa memuncak. Goodbye Peter! [Maksudku, selamat jalan St. Peter] Mungkin salah satu cara mengatasi ini adalah melupakannya. Tahun 2006 juga menjadi tahun di mana aku secara resmi berubah status dari lajang menjadi kawin. November kemarin, aku meminang gadis bermata tajam berambut ikal. Aku mencoba menikmati hari-hari baru setelah pernikahan ini. Aku memunyai cerita menarik seputar ini. Kapan-kapan aku bagikan. Leo Tolstoy (1828-1910), novelis Rusia, pernah mengatakan, "Yang penting dalam usaha menjadikan perkawinan itu bahagia bukanlah seberapa cocok kalian, tapi bagaimana kalian mengatasi ketidakcocokkan." Nah, nasihat bijak Tolstoy ini yang kucoba hidupi. Pasalnya, jelas. Aku merasakan pada titik-titik tertentu, aku dan istriku bagai dua dunia yang sama sekali berbeda. Tapi, biarlah waktu menjadi guru yang baik bagiku.
Tahun 2007 aku jadikan tahun penebusan. Menebus kegagalan dan kekurangan di Tahun 2006. Dan, aku mohon restu alam semesta, aku mau mewujudkan mimpiku. Menulis Buku! Aku sadar betul, aku memunyai talenta dan bakat untuk menulis. Itu yang aku punyai. Dan itu pula yang akan aku bagikan. Aku lagi menyusun grand design untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Saatnya Api Olympus dilemparkan ke bumi. Optimis!
read more...