IBU guru bingung. Bola matanya melotot. Gerak ke kiri dan ke kanan. Sekonyong-konyong mau copot. Terpelanting ke ubin. Paling tidak itu yang ada dalam imajinasiku saat kakak perempuanku bercerita tentang ibu guru yang sedang memeriksa pekerjaan sekolah anaknya. Kheisa, nama siswa SD kelas I itu yang tak lain adalah keponakanku sendiri.
Ibu guru itu bingung mengapa setiap kata yang memuat huruf “H”, huruf mirip pagar sekolahan ini selalu tidak dicantumkan. Misalnya, kata Tuhan ditulis menjadi Tuan. Hari menjadi ari. Istilah menjadi istila. Rumah menjadi ruma. Alamak! Apa yang terjadi? Daripada hidup dirundung kebingungan, sang guru pun menegur Kheisa.
“Kheisa, kenapa huruf H-nya tidak ditulis?”
“Huruf H-nya diambil Tuhan.”
“Kok Tuhan bisa mengambilnya?”
“Waktu aku mau menulis, Tuhan tiba-tiba datang dan merebut huruf H itu.”
“Tapi, kenapa nama Kheisa tetap ada H-nya?”
“Huruf H yang ini sudah aku kasih lem banyak. Jadi, saat Tuhan mau mengambil, Tuhan tidak kuat. Tuhan malah terjungkal.”
Aku bisa membayangkan raut wajah ibu guru itu. Bisa jadi parasnya berubah menjadi warna merah apel dengan bibir terkatup dan pipi mengembung menahan gelak. Bisa jadi, matanya menyempit. Alisnya menekuk ke atas. Bibirnya merapat. Membentuk garis lengkung ke bawah. Tanda mau marah karena merasa dikerjain oleh anak didiknya. Mungkin juga hanya geleng-geleng kepala. Tangannya meremas sepotong kapur dengan sedikit tekanan. Mungkin sekadar menghela napas. Mungkin juga cuek karena anak-anak di kelasnya tak lain adalah kumpulan para badung.
Ibu guru itu pun melaporkan itu kepada kakak perempuanku. Kakakku pun melontarkan pertanyaan serupa kepada Kheisa. Kheisa pun melontarkan jawaban yang sama. Minggu lalu, Kheisa datang ke rumahku. Aku pun melontarkan pertanyaan itu. Kheisa masih setia dengan jawabannya. Bahkan, sambil memeragakan bagaimana Tuhan terjungkal ketika ingin menculik huruf H pada nama k-h-e-i-s-a.
Tawa pun berderai. Bergetar di pita suara. Dasar!
read more...
Tuesday, September 25, 2007
Di Mana Huruf H-nya?
Sunday, September 23, 2007
Tentang Dua Sahabat
SABTU malam. Aku bongkar satu kardus Aqua gelas. Tergolek di pojok kamar. Jarang kujamah. Kutemukan lagi 4 buku catatan harianku. Masing-masing berangka tahun 1993, 1996, 1997, dan 2001. Dengan begitu, total jumlah buku harian yang kutemukan menjadi 11 buku. Dokumentasi menarik ketika dibaca ulang.
Di antara catatan-catatan kumal itu, kutemukan 1 lembar kertas yang empat tahunan ini aku cari. Satu lembar. Kumal. Membekas empat garis penuh daki. Huruf-huruf sudah dikaburkan usia. Nyaris luntur. Kertas fotokopi ini memuat puisi seorang sahabat. Sahabat di asrama selama 4 tahun, 1992-1996 di Magelang.
Merambati setiap batasan duniawi
Tak sadar pintu gerbang kebebasan ada di depan mataku
Kebebasan yang tak senilai dengan hidupku
Langkah demi langkah berjuang melawan nafsu
Hingga tertinggal hati yang damai dan penuh cinta
Namun tak ada yang lebih susah daripada tidak punya hati dan cinta
Hari ini, bulan keempat di penghujung milenium
Aku bertemu Tuhanku
dan memandang sejenak wajah agung-Nya
Seakan Ia tahu apa yang kualami
Keterbatasan-keterbatasan itu harus kubuka dan kubuang selama-lamanya
Dan perlahan-lahan, namun pasti, hatiku yang dulu beku kini berkembang dalam lautan cinta dan kedamaian. Terimakasih Tuhan. Amin.
Thursday, September 20, 2007
Ibu Pulang
HANYA 10 hari ibu berada di Jakarta. Senin pagi kemarin, ular besi menelan ibuku. Membawanya kembali ke Jogja. Sepotong rasa sedih tertinggal di hati. Belum puas maksud hati mengenyam kangen. Tapi, apa boleh buat. Kerabat di Jogja lebih membutuhkan kehadiran ibu.
Ibu tampak lebih tua. Garis-garis putih semakin banyak menghiasi mahkotanya. Kerutan-kerutan di kulitnya semakin tegas. Langkahnya juga tidak sekokoh dulu. Semut-semut tidak kasat mata pun berkoloni di setiap persendiannya. Membuatnya berlobang. Rapuh. Gejala osteoporosis. Tapi, ada yang tidak berubah dalam diri ibu. Pancaran matanya memperlihatkan sebuah ketegaran, keuletan, dan pengharapan tanpa batas. Tekadnya kuat. Kalau sudah melakukan pekerjaan, ia tidak mau berhenti meski rasa capek menggerayangi tubuhnya. Semua harus beres. Tanpa ada penundaan.
Selama 10 hari itu, ibu harus berbagi malam dengan dua rumah. Rumah kakak perempuanku di mana cucu pertamanya berada dan rumah ibu di mana aku tinggal. Kehadiran ibu membuat tugas-tugas domestikku cukup terbantu. Menyapu. Mengepel. Membersihkan gudang. Belanja ke pasar. Memasak. Menyirami suplir. Mencuci. Kalau ada jeda, ibu mengantar keponakan ke sekolah. Menyuapinya. Berbagi cerita. Memilin rosario. Mengunjungi kerabat. Menyambangi tetangga. Membaca buku. Tak ketinggalan, ibu memasak menu favoritku, yakni kering tempe.
Soal buku, tidak heran, ibuku pun doyan membaca. Di hari pertama kunjungannya ke Jakarta, ibu memintaku menyediakan buku. Di perpustakaan rumah, terserak banyak buku. Kusuguhkan 2 buku. Bukan buku filsafat. Bukan novel. Tapi, buku rohani, pemantik inspirasi. Kusodorkan dua buku kecil. Satu buku karangan Henri J.M. Nouwen berjudul “Buah Pengharapan” (Kanisius, 1998) dan “Girisonta: Dari Novisiat Menatap Taman Getsemani, Percikan Kisah Para Sahabat.” Buku pertama selesai ia baca. Buku kedua hanya ia sortir saja karena kumpulan kisah.
Pernah sebuah siang, aku dan ibuku duduk bareng di sofa hijau. Kami duduk bersama tanpa obrolan karena kami sibuk dengan buku bacaan masing-masing. Sesekali kulihat ibuku mengatur letak kacamata plusnya. Menarik ulur letak buku untuk mencari fokus baca. Membasahi jari tengah kanannya dengan sejumput liur untuk membuka halaman per halaman. Aku berjanji membelikan buku-buku rohani padanya. Tapi, belum kesampaian juga menebus janji itu. Ular besi bernama Fajar Utama itu keburu menculik ibu. Membawanya kembali ke kampung halaman.
Sesekali, aku bisa membaca kecemasan dan kesedihan menghiasi parasnya. Apalagi, ketika menerima kabar dari Jogja, si bungsu meminta uang untuk sebotol anggur. Pesta anggur dengan dewa mabuk. Sampai kapan malam-malam seperti itu akan berakhir. Sudah belasan tahun, ibu menjalani ini dengan tabah. Tapi, semua itu membuat iman ibu semakin membaja. Kuat. Kekuatan ibu hanya satu, yakni p-e-n-g-h-a-r-a-p-a-n. Pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Bagi si bungsu. Bagi keluarga. Bagi dirinya sendiri. Seakan ia mengamini tidak ada rasa sakit yang abadi.
Aku pernah memberontak pada Tuhan. Aku katakan, ibuku sudah terlalu sabar menjalani realitas ini. Tak kunjung jugakah Dirimu memberinya sepotong kebahagiaan di usia tuanya? Ibuku seperti perempuan tua yang mengetuk-ketuk pintu rumah sahabat untuk meminta pertolongan karena anaknya sakit. Tapi, sampai tangan perempuan itu berdarah-darah karena terlalu lama mengetuk pintu kayu itu, pintu juga belum dibukakan. Tapi, itu dulu. Ibu sendiri tidak protes. Justru, ibu mengenyam semua itu sebagai bagian dari iman personalnya. Ia selalu menyimpan segala perkara di dalam hatinya.
Aku pernah membenci ibu. Dulu, saat aku di asrama. Sejak hari pertama, ibu berjanji akan mengirimiku surat. Tapi, selama 8 tahun aku berada dan akhirnya keluar dari asrama, ibuku tidak pernah menulis sepucuk surat pun untuk satu cerita atau satu larik kalimat atau satu kata pun. Sepertinya hanya teman-temankulah yang ditakdirkan menerima surat. Sampai sekarang, aku belum menanyakan mengapa ibu tidak pernah berkirim surat. Itu dulu. Sekarang, kebencian itu sudah lama tanggal dari hatiku.
Itulah ibu. Satu pesan ibu sebelum pulang: jangan lupa membersihkan dapur dan gudang setiap malam sebelum tidur. Tiga hari ini, pesan ini aku penuhi. Maklum, aku tidak mau trio mickey mouse itu datang lagi. Dapur dan gudang tidak pernah absen dari sapu, cairan wipol, dan kain pel. Semua barang harus disterilkan dari binatang pengerat itu. Dan para pengerat berbau tak sedap itu tidak nongol lagi. Mungkin sudah migrasi ke rumah tetangga.
Pesan itu diulangi saat tiba di Stasiun Senen. Tepatnya di gerbong 5 nomer 5 A. Pukul 06.20, ular besi itu menjalar. Derit roda-rodanya semakin kencang. Ibu pun dibawa lari. Akhirnya, ibu pulang juga.
read more...
Wednesday, September 19, 2007
Namanya SUMIRE
AKU bertanya pada temanku siapa nama gadis itu melalui SMS. Sehari sesudahnya saya baru mendapatkan jawaban. Namanya Sumire, artinya bunga abadi. Sekali lagi S-U-M-I-R-E.Kata temanku itu, Sumire-lah yang akan membawaku terbang mengelana ke Jepang. Sebuah negeri penuh pesona bunga sakura dan salju di pucuk Gunung Fuji. Negeri Matahari Terbit. Saudara Tua. Di sana, aku akan duduk di pelataran taman kota, memandangi senja, melukis kuil tua, dan menulis. Kita buktikan saja janji Sumire. Aku ingin tahu raut wajahnya. read more...
Mati, Mati, & Mati
KEMATIAN itu begitu akrab. Dekat. Biasa. Bayangkan saja dalam waktu hampir 4 bulan, ada 4 sanak kerabatku yang mati. Pertama, kakekku mati lantaran usur usia dengan komplikasi berbagai penyakit. Satu bulan berikutnya, adik lelaki kandung kakek, Mbah Gimin, mati di Surabaya. Lalu di susul Bulik Mukri di Jogjakarta. Lalu Om Har pada usia 43 tahun lantaran virus hepatitis B menggerogoti hatinya. Ini terjadi dalam waktu yang berdekatan.
Sudah ada 4 catatan tentang kematian aku posting di blog ini. Mungkin karena kematian ini begitu akrab. Memesona. Dekat. Biasa. Sering. Semua menimpa keluargaku. Mungkin juga karena kematian ini begitu menganggu. Menakutkan. Asing. Misterius. Sepertinya malaikat pencabut nyawa itu belum puas memanen jiwa-jiwa dari ladang keluargaku. Bahkan, aku sempat bertanya, jangan-jangan kematian itu menular. Menulari orang-orang terdekat.
Kematian mungkin juga menyakitkan. Aku tidak bisa membayangkan perasaan simbah putriku (nenek) saat bersimpuh di depan peti jenasah Om Har, putra kesayangannya. Bayangkan saja, tiga bulan sebelumnya, suaminya diambil Tuhan. Kesedihan belum sempurna raib, Tuhan mengambil putra kesayangannya. Aku memandangi matanya yang tersaput oleh sedikit selaput katarak putih. Nenek tidak menangis. Ia hanya mengangguk-angguk sambil berucap Sembah Bekti (Doa Salam Maria-red) sambil memilin jemari keriputnya pengganti butiran tasbih. Mungkin, ia memang sudah tidak bisa menangis lagi. Air matanya sudah habis. Rasa kehilangan datang seperti kemarau panjang. Pergi meninggalkan kerontang di pelupuk matanya. Kesediah sudah lama menyumbat mata-mata air air matanya.
Sampai di suatu siang, terdengar kabar dari suara tak dikenal, Om Bambang (suami dari Bulik Yani, adik kandung ibuku) mati mengenaskan di jalan. Suara lirih penuh simpati dari menguar dari telepon genggam Bulik Yani. Sontak, Bulik terkejut bukan kepalang. Tangisnya pecah. Meraung-raung seperti anak singa terluka oleh peluru senapan pemburu. Kabar ini pun menyebar cepat ke sanak kerabat. Semua orang kawatir. Bulik pun merasa tak berdaya di depan kematian yang rutin menghampiri. Bulik pun menggugat kakek yang seakan tidak puas mengajak saudara dan anaknya untuk mati, sampai dirinya mengajak suami tercintanya berpulang tanpa gelagat.
Untung saja, kondisi buruk ini segera bisa diatasi. Suara pewarta kematian tak dikenal itu pun terbongkar. Ini modus kejahatan yang jamak terjadi dengan memanfaatkan telepon untuk memeras uang korban. Om Bambang pulang ke rumah Cimanggis dengan kondisi segar bugar.
Meski demikian. Kematian itu tetaplah akrab. Dekat. Biasa. Misterius. Aku hanyut dalam permenungan. Malaraux dari Prancis pernah menulis, seseorang baru dilahirkan ketika ia berdiri merenung di depan sebuah mayat dan bertanya: m-e-n-g-a-p-a?
read more...
Tuesday, September 18, 2007
Jadi Modin 100 Hari Kematian
MENGENANG 100 hari kematian Om Har, aku didaulat menjadi modin. Modin dalam tradisi Jawa dikenal sebagai pemimpin doa. Sanak kerabat sering memintaku untuk sejenak menjalani profesi dadakan ini. Entah syukuran 7 bulanan seorang bayi, 1 minggu atau 40 hari atau 100 hari kematian. Bahkan, seorang karib pernah memintaku untuk membuatkan doa untuk ulang tahun perkawinan orangtuanya. Gedubrak! Entah kenapa orang-orang itu menginginkan diriku menjadi modin.
Mungkin gara-gara aku pernah mengenyam pendidikan di pesantren kuning, sebutanku untuk pesantren Katolik. Toh, tidak semua lulusan (tepatnya pelarian-red) dari pesantren kuning itu hidup soleh dan bertabiat seperti nabi atau santo-santa. Lihat saja. Doa jarang aku daraskan. Sering absen ke gereja hari minggu. Hidupku juga awut-awutan. Novel dan buku-buku lain telah menggeser jauh-jauh Kitab Suci. Di rak perpustakaan pribadi, buku setebal kamus ini terletak di bawah tumpukan buku yang jarang dibaca. Tuhan pun tidak lagi menjadi kata dan sosok dingin yang untouchable bak gembong mafia Italia. Aku bebas sebebas-bebasnya menyapa diri-Nya. Entah menyebut ‘Tuhan di saku celana’ atau ‘Tuhan di laci meja’ atau ‘Tuhan kedodoran celana’ dan sebagainya.
Tapi, ini rahasia besar yang kusimpan dalam diriku: dengan cara inilah, aku mengenal, aku membaca, aku merasakan, aku mengunyah Tuhanku. It’s very personal! Dengan jalan inilah, aku melihat Tuhanku bukan sebagai pribadi yang jauh, yang terbang di awan-awan sehingga aku harus senantiasa mendongakkan kepalaku, yang duduk di kursi beludru di mana aku harus senantiasa membungkuk, mengangguk-anggukkan kepala tanda hormat. Dengan jalan ini, Tuhan sungguh terkesan sangat dekat. I-n-t-i-m. Jangan-jangan Tuhan itu tergolong homo ludens, sosok yang senang bermain. Tuhanlah yang mengajariku berbagai kegilaan ini. Tuhanku gila. Aku pun gila. Auk ah gelap!
Ketika didaulat jadi modin doa 100 hari kematian itu, benakku berputar-putar di langit-langit kamar tempat aku merebahkan diri secara manja. Sinar bolham lampu 15 watt di emperan luar kamar, membawa tempias bayangan daun-daun suplir yang digantung. Memikir-mikir bentuk doa apa yang akan aku berikan. Emoh jika hanya ikut dan baca doa standar yang ada dalam buku. Pasti monoton. Tuhan mungkin bosan.
“Eureka!” Ide itu sontak jatuh. “Telepok!” begitulah bunyinya. Tiba-tiba aku seperti Archimedes yang menceburkan di ember gede penuh air. Air seakan tumpah dan menggenangi seluruh isi kamar. Aku langsung meloncat dari kasur dan meraih 2 keping cd berisi musikalisasi sajaknya Sapardi Djoko Damono. Ada dua album: Becoming Dew dan Gadis Kecil. Sampai akhirnya di malam di ruang tamu rumah kakak perempuanku. Lilin dinyalakan mengapit patung kecil Isa dan Bundanya. Foto hitam putih Om Har saat masih kanak-kanak menyender di patung salib. Lalu alunan suara gitar Ari Malibu dan getar pita suara Reda menguar dalam hening.
Ketika kau tak ada
Masih tajam seru jam dinding itu
Jendela tetap seperti matamu
Napas langit pun dalam dan biru
Hanya aku yang menjelma kata
Mendidih menafsirkanmu
Kau mungkin jalanan
Menikung-nikung itu
Yang menjulur dari mimpi
Yang kini masih kutempuh
Sebelum sampai di muaramu
Sungguh tiadakah tempat berteduh di sini
Kalau tak ada di antara jajaran cemara itu
Kepada siapa mesti kucari jejak napasmu
Maghrib begitu deras, ada yang terhempas
Tapi ada goresan yang tak akan terlupakan
Yah, itu yang bisa kulakukan sebagai modin. Tepatnya modin-modinan. Setiap kali sajak Sapardi itu diputar, yang kuingat adalah sosok Om Har (bisa diklik Ecce Homo). Seakan kematiannya hanyalah mimpi saja. Cemara itu memang sudah tidak ada lagi di jajaran keluarga kami. Tapi goresan akarnya masih jelas dan belum dikaburkan angin. Seringai wajahnya saat menahan perut yang sakit. Gigi ginsulnya saat tertawa. Dua bola mata manisnya di balik kacamata minusnya. Belut goreng campur lombok kesukaannya.
Ada sepotong pengalaman yang tidak bakalan usang di ingatanku. Tiga bulan silam, saat mbah kakungku meninggal, Om Har dengan wajah letihnya memintaku memimpin doa untuk arwah kakekku itu. Kami sekeluarga besar berdiri mengelilingi peti berisi sosok beku itu. Aku diminta Om Har menjadi modin. Tiga bulan kemudian, aku pun diminta menjadi modin lagi. Bukan untuk kakekku. Tapi, untuk Om Har sendiri. Lalu, ketika aku menulis catatan ini, aku bertanya: siapa yang akan menjadi modin untuk kematianku nanti?
read more...
Friday, September 14, 2007
Semalam Ada yang Bilang 'Sayang'
“Sudah menikmati secangkir kopi?”
“There is no morning coffee here.”
“Semalam ada seseorang yang bilang sayang ke gue”
Mataku sejenak melotot pada ruang chatting. Menahan untuk meledakkan tawa. Perempuan yang pernah terjungkal tanpa sebab di pelataran UI Depok itu menceritakan seorang lelaki telah ‘menembaknya’ tadi malam. Tadi malam di Dante Coffee, gerai kopi seberang Starbucks di Mal Kelapa Gading. Ditemani secangkir caramel macciato, jenis kopi yang tak begitu disukainya. Lebih enak menyeruput capuccino atau kopi susu cap Luwak pemberian teman. Enak tidak enak, pasti pelor-pelor cinta itu mengoyak jantungnya. Membuatnya insomnia mendadak. Malam jadi panjang. Suhu kamar naik-turun. Dan ini benar!
“Mengejutkan, menyenangkan, membuat gue susah tidur.”
“Senyum terus sepanjang malem”
“Ternyata gue gak segitu jeleknya”
“Masih ada juga yang diam-diam memendam rasa suka ke gue.”
Hatiku pun terpingkal-pingkal. Teman kantorku ini memang lucu bin ajaib. Apalagi setelah mengaku ternyata lelaki jagoan itu adalah adik kelasnya, lelaki yang diam-diam jatuh cinta padanya. Perempuan ini pernah cerita bahwa dirinya enggan menanggapi gelagat lelaki ini. Beribu cara ia cari untuk menghindar. Tapi, akhirnya dirinya terperangkap juga di Dante Coffee, gerai kopi yang tiba-tiba disulap menjadi lapangan tembak. Lelaki itu menunggu saat yang tepat. Mengukur kecepatan angin. Menguatkan pegangan. Menarik napas. Lalu menarik pelatuk. Dan “dorrrr!!!’’ Senapan cinta itu meletus. Pelor cinta pun menembus jantung temanku. Membuatnya membeku tanpa jawab.
“Gue tidur cuma beberapa jam. Tapi, hari ini, gue bangun dengan mata terang benderang tanpa jejak kantuk sedikit pun.”
“Sekuat itu ya pengakuan dia?”
Akunya, jagoan ini sudah nguber-uber dirinya selama 14 tahun. Sayangnya, jagoan ini adalah pangeran kesiangan. Seorang Romeo dadakan yang malang. Jaka Tarub yang gagal mencuri selendang dewi kayangan. Dua bulan lagi, sang putri naik ke pelaminan. Melepas lajang dan mengurung niat bercangkir kopi dengan para kawan dan selingkuhan. Tapi, sebegitu tegarkah pondasi hati tuan putri?
“Tapi dasar perempuan jahaman, gue seneng2 saja ada yang ama gue.”
“Dan mulailah sikap ambigu gue.”
Ketawaku mendadak berkeping-keping. Berderai di sela-sela keyboard komputer, tempat jemariku menari-nari. Perempuan ini pun bercerita lebih banyak lagi. Dan lagi. Tapi tidak etis aku ceritakan di sini semuanya.
“Klo bisa memiliki semua pria yang menyayangi gue, gue mau aja lho”
Alamak! Hati-hati, ntar banyak yang 'ngokang senjata'!
Monday, September 10, 2007
My Own Edensor
“Sure lof, it’s Edensor...”
KAMIS pukul 18:54 WIB. Petualangan Ikal aku baca sampai di sini. Selesai. Di lantai 19 Sky Line Building setelah setengah jam lalu bola matahari melorot dan sembunyi di pasar Tanah Abang. Tepatnya, dua jam setelah ibuku menelepon dari wartel Stasiun Senen untuk minta dijemput. Sayang sekali aku tidak bisa menjemput karena sudah ada janji wawancara dengan narasumber. Di langit, tersisia warna jejak jingga keperakan. Lalu hilang tergusur pekat saat lampu-lampu kota mulai berkedip-kedip seperti kerjapan kunang-kunang yang sedang menggerayangi malam.
Berakhir juga petualanganku selama sehari itu. Seharian untuk menuai kelelahan di penghujung senja. Pagi hari, aku berada di Grand Hyatt untuk mendengarkan celoteh Daren Sng, Senior Product Marketing Manager Apple untuk Asia Pacific memperkenalkan seri terbaru iMac. Berlanjut dengan menyisir jalan Thamrin-Sudirman dengan bus Trans-Jakarta menuju kedai makan Mbah Jingkrak. Mengikuti launching Sari Wangi Mobil Mudik 2007. Sejumlah 150 unit Kijang Inova disediakan gratis bagi pelanggan yang beruntung. Lengkap dengan sopir, gratis uang bensin, uang tol, dan uang makan. Weleh, uenak tenan! Tapi aku tidak berencana mudik. Pasti merepotkan. Lebih-lebih aku harus menjaga peri kecilku. Menyuapinya dengan bubur kacang ijo. Menyeduhkan susu cokelat untuknya tiap pagi dan malam. Lebih-lebih sayap peri kecil belum cukup kuat untuk terbang ke kampung halaman. Sore menjelang, aku kembali berada di bus Trans-Jakarta menuju Thamrin. Lalu membebaskan James, motorku, dengan menukar karcis parkir di Hotel Nikko dengan recehan Rp 7.000. Senja tiba dan sampailah aku di ruang Jasmine, Sky Line Building Lantai 19.
Jeda waktu menunggu narasumber kumanfaatkan untuk meluruskan kaki, meluruhkan lelah ke ubin, dan membaca kelanjutan petualangan Ikal, karakter utama dalam novel Edensor, novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Akumulasi kelelahan hari itu aku tumpahkan dengan menyambar tiga gelas penuh coca-cola, satu cangkir kopi hitam berkrim, berlanjut dengan sepiring nasi goreng Hainam bertaburan kacang polong nir kecap, spageti, Korean bbq, salad, dan sup asparagus. Menu yang layak untuk menebus pekerjaan seharian.
Mengikuti lembar per lembar halaman Edensor, aku seperti ikut hanyut dalam narasi. Ikut mengelana. Dari pedalaman Melayu di Belitong sampai pedalaman Eropa dan Asia. Petualangan ala backpackers yang penuh sensasi. Rasanya ikut merasakan serpihan salju menempeli kulit, merosotnya suhu dingin sampai titik nadir, dan badai salju di Rusia. Menikmati Paris yang sedang bersolek. Inggris yang beku dan tersaput warna jingga yang berpendar dari lampu-lampu kota. Antiknya rumah William Shakespeare saat menulis romansa Romeo dan Juliet. Anggunnya perempuan-perempuan Yunani. Memanjakan lidah dengan masakan beragam cita rasa.
Aku doyan cerita-cerita petualangan. Pergi dari kepompong rumah. Hengkang dari istana mapan. Mengambil risiko ke tanah asing. Mengalami ketidakpastian. Bercanda dengan seribusatu ancaman dan bahaya. Mewujudkan mimpi-mimpi. Mendekonstruksi takdir. Melompati batasan-batasan. Mematahkan kemustahilan. Lalu menulis cerita.
Andrea Hirata membuatku terkesiap sekaligus iri. Larik-larik cerita yang ia tuliskan memesonaku sekaligus membuncahkan mimpi-mimpiku yang masih dikerangkeng oleh rasa ragu. Jiwa merdeka, pengelanaan, bertemu dengan banyak orang, menjumpai aneka budaya, menaklukkan alam.
Cerita-cerita senada aku temukan juga dalam novel Sang Alkemis (Paulo Coelho) atau Life of Pi (Yan Martel). Keterbatasan yang dipadu dengan risiko-risiko membuat orang semakin perkasa untuk mematahkan segala ketidakmungkinan. Aku juga mempunyai mimpi. Mengelana juga. Tidak meleset juga jika aku menamai diriku sendiri dengan musafir muda. Ada orang Belitong mampu menaklukan dunia. Apakah aku, orang udik ini juga bisa menaklukkannya? Dusun Belitong mungkin sama dengan dusun Sembungan. Sembungan, nama yang tidak ada di peta dan jarang di dengar orang. Adakah seorang pengelana baru akan lahir dari dusun katrok di pedalaman Jogjakarta ini? Lao Tzu pernah berpesan, “A thousand mile journey begins with the first step.”
Jumat pekan lalu, aku chatting dengan seorang karib yang bekerja di sebuah agen tur jurusan tempat-tempat suci di Timur Tengah dan Eropa. Bolak-balik mengantar para pejiarah menjadi menu utamanya. Jelas ini mengasyikkan.
“Asik ya Mas menjadi guide para pejiarah!”
“Ya, ini pekerjaanku.”
“Dari sekian kali menemani para pejiarah, apa yang Mas dapatkan?”
“Aku semakin mengenali apa arti jiarah yang sebenarnya.”
“Apa itu Mas?”
“Persis seperti yang dialami Ignatius dari Loyola. Jiarah itu membiarkan hidup ini mengalami ketidakpastian dan menyerahkan diri untuk dibimbing Allah sendiri.”
Aku jeda sejenak. Cerita-cerita pengelanaan Ignatius Loyola sudah katam aku baca sejak ada di asrama. Menarik. Menginspirasi. Memang segala hal yang berasal dari pengalaman lebih menginspirasi ketimbang teori-teori.
Dan malam itu di ruang Jasmine, Sky Line Building lantai 19, aku menumpahkan kerinduan terpendamku. Jiwaku yang bersembunyi di dalam raga, di sela-sela tulang, dan di sari-sari sumsum seakan menggeliat. Meledak dalam sikap diam. Sementara mataku masih memanjakan diri dengan kerlap-kerlip kendaraan yang merangkak di sepanjang jalan Thamrin menuju peraduan mereka masing-masing. Dan di batok kepalaku, berputar-putar gambaran Edensorku sendiri. Sebuah tanah berumput hijau tempat aku merebahkan diri sambil memandangi bulan raksasa terbang rendah dari pucuk-pucuk cemara. That is my Edensor!
read more...
Wednesday, September 05, 2007
Toilet
SAAT sebagian masyarakat disibukkan dengan antri minyak tanah, kami di kantor disibukkan dengan antri toilet. Hari gene ngantri toilet? Pasalnya, satu dari tiga toilet di kantor kami digembok dengan alasan kurang masuk di akal.
“Ini akibat dari perbuatan kalian!” cetus seorang manager yang nimbrung makan siang kami di basement Mal Artha Gading yang super gerah. Seorang memplesetkan makan sembari sauna gratis.
“Halah, klasik banget. Kenapa terus digembok toiletnya?”
“Sebagai bahan pelajaran kalian yang jorok.”
“Tapi kenapa harus digembok? Apa tidak ada cara manajemen yang lebih wise?”
“Toilet itu kotor. Banyak tisu. Ada yang buang air tanpa menyiram. Noda sabun menempel di mana-mana.”
“Lalu, kenapa ditutup?”
“Iya, aku lihat Julia sibuk naik turun dengan tangan menggenggam pembalut. Sampai di atas, masih harus ngantri. Karena males, lalu turun lagi.”
“Ini sebagai peringatan. Kalau di antara kalian jorok, akibatnya semua kena getah.”
“Apa tidak ada cara yang lebih wise?”
“Tutup saja semua toilet!”
“Ah, manajemen yang kekanak-kanakan.”
Begitulah potongan obrolan di sela-sela makan siang. Obrolan soal toilet sempat membuat makan menjadi seret. Gumpalan daging ayam bakar bercampur nasi itu seakan tersumbat di kerongkongan. T-e-r-s-e-n-d-a-t. Seolah-olah segelas es teh pun tidak sanggup mendorongnya menuju lambung. Bukan lantaran jijik akan toiletnya. Tapi oleh tindakan menggembok salah satu toilet di lantai 4 itu. Dongkol campur gemes. Perlu tahu kantor kami memiliki empat lantai. Seluruhnya dihuni sekitar 60 mahkluk kaki dua yang dinamai karyawan.
Gedung ini punya tiga toilet. Ketiganya lengkap dengan si leher angsa, tempat segala limbah metabolisme tubuh digelontorkan sedalam-dalamnya ke tanah. Biar menjadi makanan bagi cacing-cacing. Seminggu lalu satu toilet resmi ditutup dengan gembok. Terbayang dalam kepalaku, tulisan garis polisi dengan tulisan “Do Not Cross!” melingkari ruangan yang tiba-tiba tampak keramat itu. Di lantai 4, tersisa satu toilet kecil seluas 44 ubin persegi. Tepatnya, panjang 11 ubin dan lebar 4 ubin. Di depan ruang kecil inilah, kami sekarang sering ngantri.
“Lo, tahu kan rasanya kebelet?”
“Gue pernah menggelepar kesakitan di lantai gara-gara kamar mandi rumah dipakai mandi saudaraku. Padahal, saat itu gue benar-benar sakit perut. Rasanya ingin tumpah saja.”
“Kalo aku lain. Biasanya aku ngebut naik motor saat rasa ingin be-ol tak tertahankan lagi.”
“Celanaku malah pernah basah. Habis gak bisa nahan.”
“Emang. Be-ol itu nikmat banget.”
“Berada di toilet itu seperti berada di ruang pribadi.”
“Betul, itu sangat privasi.”
“Saat-saat itu, saat-saat paling pribadi buat gue!”
Obrolan tenteng toilet berlanjut dengan kawan-kawan lain di ruang chatting. Sementara, sampai hari ini, toilet itu tetap terkunci. Tak jarang, kami pun harus ngantri. Kalau di kampung, tidak ada toilet juga tidak masalah. Alam raya telah menyediakan tempat yang bisa kita gunakan untuk toilet sesuka kita. Di bawah pohon atau di pohonnya sekalian. Asal tidak bikin orang lain mabuk lantaran bau busuk menusuk-nusuk hidungnya.
Omong-omong soal toilet, aku punya serpihan catatan. Asal tahu saja, toilet sudah dikenal dalam peradaban manusia pada periode Sebelum Masehi. Ini kata ensiklopedi online Wikipedia. Pada abad ke-25 SM, orang-orang Harappa di India memiliki toilet di setiap rumah. Toilet dihubungkan dengan saluran air dari batu bata. Di Mesir dan Tiongkok kuno, orang-orangnya juga sudah sadar toilet. Bahkan, di masyarakat Romawi toilet menyatu dengan tempat mandi umum.
Pada 1596, Sir John Harington menemukan toilet dengan fasilitas penyiraman. Toilet-toilet ini terus mengalami banyak inovasi pada Zaman Victoria di Inggris sampai sekarang. Lihat tuh, sadar toilet saja sudah dibangun sejak zaman baheula.
“Tas apa yang paling enteng?” tanya temanku.
“Tas tanpa isi!”
“Salah!”
“Lalu apa?”
“Tas, ngising!” (tas dalam bahasa Jawa= usai; ngising= berak)
Memang benar kata temanku itu. Saat-saat yang paling ringan, plong, seolah seluruh beban hidup meluruh ke bawah bersama ampas-ampas yang digelontorkan melalui leher angsa adalah usai berak. Be-ol itu rasanya seperti menyeruput secangkir kopi panas. Nikmatnya luar biasa. Ini sebuah karunia Tuhan yang tiada taranya. Coba bayangkan jika seumur hidup kita tidak bisa be-ol. Jangankan seumur hidup, cobalah satu hari saja. Tubuh seakan menciut bersama pucat. Langkah-langkah pun jadi limbung. Lalu orang berubah menjadi mayat hidup dengan gigi mengintip dari celah bibir. Pucat. Pasi. Linu. Duh, menderitanya!
Dan toilet itu pun masih terkunci. Gembok dingin masih menempel dengan sombongnya. Muka-muka meringis pun tampak samar dari etalase kaca di depan meja kerjaku. Sampai-sampai, aku sudah mulai lupa kalau di lantai 4 ada dua toilet. Amnesia?!?
read more...
Monday, September 03, 2007
Anak Kecil di Dalam Diriku
KENAPA Liana menatapku demikian? Gadis cilik berbalut busana biru telor ini menatapku aneh. Rautnya penuh keheranan. Bola matanya bening. Bibirnya merapat. Membentuk garis melengkung ke atas. Dia berdiri tak bergeming di depanku. Melupakan sejenak bola-bola kecil yang jatuh berderai di lantai. Bola-bola yang sejak siang tadi dimainkan di sela-sela kakinya yang terhuyung.
Tatapan itu membuatku sedikit salah tingkah. Ada energi keluar dari bola matanya. Aku heran dan penuh tanda tanya. Apa yang ingin kamu katakan padaku Liana? Aku seorang lucukah bagimu? Atau kamu sedang jatuh cinta padaku? Buruk rupakah aku? Atau kamu mau mengatakan sesuatu yang lain: udara Sawangan yang cukup gerah, rambut gondrongku, buramnya kacamata minusku, atau kamu mau bercerita tentang ibumu, bapakmu, mimpi-mimpimu, rindumu pada hujan. Jujur, aku tidak tahu. Sayang kamu belum bisa mengatakan maksudmu dengan bibir manismu itu.
Kejadian serasa terulang pada petang hari. Seorang gadis cilik berbalut busana merah jambu menatapku aneh. Gadis cilik yang berdiri mematung di antara kaki-kaki orang dewasa di ruang tunggu Teater Kecil itu memancarkan paras keheranan. Bibirnya merapat. Membentuk garis melengkung ke atas. Aku tersihir untuk ikutan mematung. Gadis kedua ini pun membuatku sedikit salah tingkah. Sampai seorang teman yang sedang menikmati standing party pembuka malam seni itu menepuk bahuku.
“Lihat, anak itu menatapmu! What’s going on?”
Aku juga tidak tahu. Dalam satu hari, dua gadis cilik menatapku penuh keheranan. Tanpa sebab jelas. Tidak ada yang tahu selain kedua gadis cilik itu. Sementara itu, dua tahun silam, seorang sahabat pernah mengatakan sesuatu. Aku jadi mengingatnya setelah berjumpa dua gadis cilik itu.
“Ada anak kecil di dalam dirimu,” kata sahabatku.
read more...